Jumat, 10 April 2015

Cultural Education = Tameng Kebudayaan Atas Pengaruh Kebudayaan Luar

Tidak dapat dipungkiri jika daerah kita mempunyai identitas kuat dalam segi kebudayaan. Ada begitu banyak seni kebudayaan, yang kita tidak sadari semakin tergerus oleh hal-hal modern dan budaya luar yang semakin diterima masyarakat khususnya kaum muda di daerah kita, tanpa diimbangi dengan kegiatan-kegiatan yang mampu memperkuat pondasi pertahanan kebudayaan kita, atas ancaman degradasi minat dari para generasi penerus.
Budaya menurut bahasa merupakan cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.  Di sini peran para sesepuh sangat diharapkan. Sesepuh yang disebutkan di sini, bukan hanya yang mempunyai peran penting dalam hal kegiatan-kegiatan, yang berbau adat dalam hal ini guhanga, tapi sesepuh yang dimaksud adalah orang-orang yang telah mendapatkan pendidikan tentang dasar-dasar budaya,secara sejarah, maupun kegiatan-kegiatan yang melibatkan konsep adat istiadat dalam kebudayaan kita. Perlunya sosialisasi kepada anak-anak kita juga kepada orang-orang yang semakin meninggalkan etnik kebudayaan kita karena lebih berkiblat ke kebudayaan pop (pop cultural).
Dari sini mungkin perlunya pendidikan kebudayaan di sekolah-sekolah atau instansi, yang mengadakan kegiatan belajar. Kenapa semakin hari semakin berkurang pelajaran, yang mengajarkan tentang kebudayaan yang menjadi identitas daerah kita. Saya rasa mungkin perlunya pendidikan berbasis budaya (Cultural Education) di sekolah negeri maupun swasta di daerah khususnya di Bolaang Mongondow ini. Pendidikan yang mengajarkan siswa bagaimana adat dan semua sisi kebudayaan yang ada di daerah ini, dari tari-tarian,nyanyian dan masih banyak lagi bahkan sampai dengan mainan tradisonal yang memang hanya ada di daerah kita tercinta Bolaang Mongondow.
Lalu bagaimana pendidikan seperti  itu bisa terwujud? Semua tergantung dari atas. Atas mana yang dimaksud? Pemerintah. Peran pemerintah dalam menyelamatkan warisan kebudayaan Bolaang Mongondow sangat sentral. Kiranya ada program pemerintah yang khusus menangani. Ini bukan sekadar isapan jempol belaka, karena bagaimana orang tua, leluhur kita, mencoba mempertahankan kebudayaan tersebut, agar kita mempunyai identitas kedaerahan sendiri bukan sekadar ngikut budaya orang lain atau budaya pop, yang sedang menjadi ancaman cultural community di Indonesia, khususnya di Bolaang Mongondow.
Perlunya pelestarian untuk waktu yang lama, perlunya sinergi antara pemerintah dengan masyarakat yang peduli dengan kebudayaan, dalam hal upaya pelestarian kebudayaan dalam waktu yang berkelanjutan (sustainable).
Solusi paling mudah mungkin dengan banyak dilibatkannya kegiatan-kegiatan berbau kebudayaan, dalam kegiatan yang diselenggarakan pemerintah dan mengajukannya sebagai syarat, untuk izin kegiatan-kegiatan yang diadakan pihak swasta di daerah. Dan itu bukan hal yang sulit diwujudkan, karena koordinasi antar instansi terkait tidak akan ada masalah dengan persoalan ini, apalagi jika ini peraturan yang dikeluarkan dan disepakati oleh seluruh jajaran dalam pemerintahan.
Kebudayaan merupakan tanggung jawab kita bersama, bagaimana dengan orang yang tidak peduli dengan kebudayaan daerahnya? Mungkin dia layak disebut pecundang dan tidak bertanggung jawab. Karena mencoba lari dari kenyataan dan takut tak akan mampu mempertahankan yang sudah menjadi miliknya. Bukan hanya takut tapi malah lebih seperti penjilat, karena malah ikut-ikutan dengan kebudayaan lain yang sedang ngetren. Semoga Anda tidak termasuk orang seperti itu!

Pendidikan sama dengan (=) Pengetahuan

Pentingnya pendidikan kini sudah menjadi syarat untuk fungsi harmonis dalam bermasyarakat. Secara langsung pendidikan memacu kita untuk berpikir, sebabdalam berpikir akan ditemui hal-hal baru yang menambah pengetahuan. Tapi selalu ada pertanyaan, apa pentingnya pendidikan sebenarnya? Jawabannya ada dalam diri kita sendiri. Pendidikan sebenarnya lebih daripada komoditi yang selama ini kita lebih-lebihkan nilainya. Pendidikan tidak selalu formal di mana seseorang yang ingin menuntut ilmu, harus barseragam lengkap,karena seragam bukan syarat utama dalam pendidikan. Itu hanya kebijakan partikulir pihak yang melaksanakan kegiatan pendidikan tersebut, agar terlihat seragam dalam berpakaian. Jelas ini mempertontonkan identitas pihak yang melaksanakan pendidikan itu. Alasan klasiknya seragam menambah nilai estetika dalam diri siswa yang tengah menempuh pendidikan. Menurut saya pendidikan saja yang di tingkatkan, karena jika seseorang yang menempuh pendidikan tersebut telah paham dengan pendidikan yang sebenarnya, secara tidak langsung akan mengerti nilai-nilai estetika dalam kehidupan sehari-hari. Orang berseragam tak selalu berpendidikan.
Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas panjang lebar persoalan seragam, karena pendidkan bukan  fashion, dan saya bukan kritikus tata busana sekelas Giorgio Armani atau Bang Igun di acara Tv swasta  itu.  Pendidikan yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh akan membawa kita dalam pusaran keberhasilan. Terlalu banyak manfaat pendidikan sehingga saya sendiri tak bisa menjabarkannya satu persatu. Intinya pendidikan akan mebawa kita ke dalam wilayah di mana orang lain akan memandang kita “minimal”  sedikit lebih di atas. Pendidikan secara harfiah membuat kita lebih berawawasan. Bahkan tidak ada waktu yang lebih baik selain memahami konsep ini. Tak dapat dipungkiri globalisasi telah mengubah dunia, dari yang kecil menjadi besar,yang besar menjadi kecil, yang panjang menjadi pendek begitupun sebaliknya. Tidak ada batasan dalam memperoleh pengetahuan. Untuk sekadar mengetahui budaya luar atau peristiwa yang terjadi di belahan dunia lain ada andil pendidikan dalam wilayah itu.
Pendidikan juga membentuk dasar dari setiap kebutuhan masyarakat. Dari berbagai hal, entah itu ekonomi, sosiologi, filsafat, politik dan banyak hal lainnya. Dengan pendidikan dasar yang kuat akan memudahkan masyarakat, melakukan berbagai bentuk kegiatan perencanaan,penelitian dan pengembangan yang akan mengundang keuntungan dan kesejahteraan, baik secara individu maupun secara bersama-sama dengan individu lain.
Pendidikan perlu ditanamkan sejak dini dalam diri anak-anak, entah itu dari keluarga kalangan atas menengah kebawah. Karena saya memandang pendidikan memadai untuk kalangan atas akan memantapkan posisinya di atas,sementara untuk kalangan menengah kebawah akan membawanya bersaing dengan kalangan di atasnya. Pendidikan  sejak dini perlu  agar anak-anak tidak hanya mengonsumsi ilmu pasti dan doktrin-doktrin secara tekstual,melainkan memacu mereka untuk berfikir dan bertanya.
Dalam pendidikan tidak ada batasan. Tidak hanya sebatas sekolah dan ruang kelas saja.  Banyak wadah dalam maningkatkan mutu pendidikan selain sekolah formal. Sekarang telah banyak kaum muda yang mencurahkan perhatian dan keprihatinan dalam dunia pendidikan khususnya kepada kaum-kaum kurang beruntung. Saya mungkin hanya salah satu dari sekian banyak pihak yang mengapresiasi kegiatan-kegiatan ini. Terima kasih kepada kawan sekalian telah meluangkan waktu dan tempat untuk membagikan ilmu yang sudah didapatkan kepada kaum-kaum kurang beruntung,sehingga mereka siap untuk menerjang tantangan dunia dalam hal pengetahuan dalam konsep pendidikan.

Oleh: Retho Bambuena

Nyatakah Kisahmu Bono?

Bono, si bocah mungil, cerewet, dengan tampang yang imut-imut. Entah apa yang terlintas di pikiran orang tuanya, ketika menamai malaikat kecil mereka , yang meneriaki dunia yang indah nan kejam ini.
Terlintas dalam pikiranku, mungkin terinspirasi  dari vokalis band U2. Bono, bocah kecil, berwarna kulit kecokelatan dengan kepala yang selalu tampil plontos, layaknya legenda sepakbola kelas dunia asal Brazil, Ronaldo. Dari bocah kecil ini aku belajar melihat, bagaimana seorang anak berusia 8 tahun bertarung melawan kerasnya dunia. Membantu orang tua memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, untuk makan dan kebutuhan lainnya, bersama kedua adiknya. Seperti halnya bocah kecil lainnya yang tak mempunyai kesempatan untuk mengenyam pendidikan, Bono juga mempunyai mimpi besar dan melangit, mungkin dia mengharap seperti kalimat Bung Karno, "Bermimpilah setinggi langit, jika kau jatuh, kau akan jatuh di antara bintang-bintang." Entahlah.
Setiap hari Bono kecil menjajakan koran di persimpangan jalan, di bawah teduhnya tangkisan struktur kokoh arsitektur  flyover, terhadap terik sinar mentari. Bono kecil selalu bermimpi untuk bisa sekolah, sekadar merasakan bagaimana rasanya di tanyai guru soal penjumlahan dan pengurangan. Pun merasakan terik mentari, saat ikut upacara bendera di sekolah, atau sekadar memegang rapor kecil bertulikan nama, kelas, dan wali kelasnya.
Tapi apa daya, lemahnya ekonomi keluarga, memaksa Bono ikut ambil bagian dalam mempertahankan kelangsungan hidup keluarga. Dan menunda mimpinya untuk bersekolah. Pertanyaan yang muncul setelah paragraf yang menceritakan kisah singkat Bono di atas, adakah usaha serius pemerintah menangani kasus seperti ini? bukan hanya untuk Bono yang satu ini, tapi untuk Bono-Bono lainnya. Atau inisiatif kaum intelektual muda yang akan mengatasi masalah seperti yang di alami Bono ini? jawabannya jika pilihan kedua yang melakukannya, maka itu sebuah  tamparan keras untuk pemerintah agar lebih peka terhadap masalah seperti ini.
Lupakan tentang pertanyaan tadi, semoga ada yang terefeki dengannya. Kita lanjutkan saja cerita tentang Bono kecil tadi yang mendapatkan secercah harapan, yang secara tidak sadar terjadi sangat singkat di saat kita serius membaca dan menanggapi pertanyaan di paragraf ketiga. Harapan apa yang didapat Bono? Bono mendapatkan impiannya. Bersekolahkah Bono? Iya. Tapi bukan sekolah formal seperti umumnya, melainkan sekolah yang digagas kaum muda, untuk membantu orang-orang kurang beruntung, dalam persoalan kemampuan ekonomi untuk bersekolah. Di sana bukan hanya Bono yang diceritakan sejak awal tulisan ini, tapi ada Bono-Bono lainnya. Mereka bahagia? Sangat bahagia. Karena mereka mendapatkan pendidikan yang, bahkan lebih dari yang didapatkan anak-anak seusianya di sekolah formal. Beruntungnya Bono kecil ini bertemu dengan sosok serupa peri di cerita Peterpan, atau sosok serupa Jin Botol dalam cerita dongeng Alladin, yang mampu mewujudkan mimpinya, untuk sekolah. Entahlah, hanya aku dan Bono yang tahu sosok-sosok itu.

Oleh: Retho Bambuena

Minggu, 05 April 2015

Merefleksi Pengalaman


Minggu 5 april 2015, senyuman mentari yang centil dengan rona merah yang merekah, Menambah eksotisme kota makassar ditengah musim penghujan yang sepertinya enggan untuk beranjak. makassar, kota dengan berbagai kesibukan manusia, tempat bertarungnya gagasan dan ide para penggiat Ilmu pengetahuan dan disitulah tempat saya tinggal untuk sementara, menuntut ilmu demi masa kini dan nanti yang baik  (sesekali saya berharap keberadaan saya  disini tidak menyentuh angka sepuluh atau lebih. yah kira kira begitulah harapan yang tentu dibarengi dengan ikhtiar yang sejalan.. haha).
Siang ini saya baru saja mengantar seorang sepupu yang tergesa-gesa menuju kampus tempatnya mengembangkan nalar dan pengetahuan. ditengah perjalanan saat ingin kembali ke PPH (kontrakan kami bernama PPH, akronim dari Pondok Patah Hati, sejarah penamaan rumah ini tak perlu saya paparkan dalam tulisan ini) saya melihat beberapa anak-anak yang masih berpakaian sekolah dengan botol minuman dingin ditangan mereka dan saling bercanda layaknya anak-anak pada umumnya.
Ditengah perjalan pulang bayangan anak-anak tadi terus saja tergambar dipikiranku, wajah anak-anak yang begitu polosnya yang sudah tidak sabar ingin sampai kerumah dengan harapan bertemu kedua orang tuanya dan menceritakan berbagai cerita menarik yang ada disekolah.
Sesampainya ditempat saya tinggal wajah anak-anak itu masih saja dipikiranku yang kemudian memaksa saya kembali menyentuh ingatan dimasa lalu, waktu saya masih berada dibangku SMA, dengan diiringi lagunya, bondan prakoso & fade2black (kita selamanya) zaman saya bersekolah, seorang teman sering berkata bahwa lagu "paling mo cocok pake'on kon perpisahan", saya teringat teman-teman yang sekarang sudah disibukan dengan urusan perkuliahannya masing-masing dengan tempat yang terpisah pula dari saya, teringat berbagai kekonyolan yang terjadi  dimasa sekolah dulu mulai dari pramos,mos dan banyak lagi kemudian sampai pada perpisahan kira-kira waktu itu tahun 2013, cerita masa sekolah itu membuat saya tertawa dengan sendirinya dikamar yang kalau ada orang yang melihatnya dengan waktu bersamaan saya yakin pasti dia akan heran dan ketakutan.
Beberapa waktu berlalu ingatanku jauh menyentuh lebih dalam lagi dan kemudian berhenti pada satu cerita yang membuat cerita masa SMA tadi yang awalnya membuat saya tertawa dan kemudian dengan waktu yang bersamaan membuat saya terdiam dengan hadirnya ingatan yang baru ini. Nah, kalau saya tidak salah ingat saat itu saya masih berada pada bangku sekolah dasar, saya teringat dimana anak-anak setiap harinya selalu diperdengarkan kata-kata “orang tua kalian adalah wakil tuhan ketika kalian berada dirumah dan kami adalah wakil tuhan ketika kalian berada disekolah” dengan waktu bersamaan mereka menanamkan dipikiran anak-anak  bahwa apapun kebijakan yang “kami” lakukan untuk kalian( siswa) itulah hal yang semestinya terjadi, anak-anak didikpun lantas diperlakukan sebagai “bejana kosong”  yang akan diisi. Sebagai sarana tabungan atau penanaman “modal ilmu pengetahuan”  yang akan dipetik hasilnya kelak. Jadi, guru adalah subyek aktif, sedangkan anak didik adalah obyek pasif, hak-hak  asasi mereka dinistakan karena mereka dibuat tak berdaya dan dibenarkan dalam “kebudayaan bisu”.
-Guru mengajar, murid belajar
-Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
_Guru bicara, murid mendengarkan
-Guru memilih apa yang diajarkan, murid menyesuaikan diri
-Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid-murid.
-Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya.
Pola pendidikan seperti itu akan menjadikan manusia penonton dan peniru. Bukan pencipta, sistem pendidikan seperti ini tidak seharusnya terjai justru sebaliknya harus menjadi kekuatan penyadar dan pembebas umat manusia.
Khususnya buat anak-anak yang berada dibolaang mongondow jangan biarkan sistem pendidikan semacam ini bergerak dengan leluasanya diwilayah pendidikan kita karena penindasan, apa pun nama dan alasanya, adalah tidak manusiawi, sesuatu yang menafikan harkat kemanusiaan(dehumanisme).
Saya mengutip yang dikatakan seorang filsuf, bahwa, panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang menindas atau mungkin menindasnya. Dunia dan realitas atau realitas dunia ini bukan “sesuatu yang ada dengan sendirinya” dan karena itu “harus diterima menurut apa adanya” sebagai suatu takdir atau semacam nasib yang takterelakan.

penulis : Novan Pradana Makalunsenge
Komunitas Pelataran Makassar (Koran Makassar)

Kamis, 26 Maret 2015

Dinangoi, Lebih dari Sekadar Romantisme Kuliner Masa Lalu



Bentuknya bundar nampak begitu sederhana, gurih, dengan cita rasa khas daerah pegunungan, begitulah kesan saat pertama kali lidah dengan lembut mengecap dinangoi. Pahit di bagian hangusnya dan manis di lelehan gula aren atau bahan lain yang melapisi bagian tengahnya, seperti mengisyaratkan getir dan getar kehidupan. Bahwa kita tak pernah luput dari pahit-manisnya hidup. Nah, masih adakah yang ingat dengan makanan khas Bolaang Mongondow ini? semoga kaum muda yang telah mencicipi aneka ragam kuliner luar negeri, yang membanjiri tanah pertiwi ini masih akrab dan sering bercengkrama dengan sedap dan nikmatnya dinangoi.
Betapa beruntunganya kita yang sempat merasakan kenikmatan makanan warisan leluhur ini. Tidak tahu pasti sejak kapan dinangoi pertama kali dikonsumsi masyarakat Bolaang Mongondow. Tapi menurut referensi yang saya dapatkan, dinangoi sudah ada sejak masa kerajaan Bolmong.
Pada masa itu makanan ini menjadi salah satu makanan mewah di kalangan raja. Bahkan menurut sejarah, raja-raja di Bolmong dahulu kala memiliki kebun sagu sendiri, hanya untuk mempermudah mendapatkan bahan utama pembuatan dinangoi, yaitu sagu.
Kini sajian kuliner yang purba ini menjadi seperti berkelas saking sulitnya ditemui. Mungkin dinangoi tak lagi menjadi idola umumnya masyarakat modern, dengan berbagai alasan. Namun menurut saya, tidak ada alasan mengapa harus meninggalkan salah satu makanan khas, yang memperkuat identitas kedaerahan kita sendiri. Bukannya numpang ngetren dengan ikut-ikutan mencemooh atau menjadikannya sebagai bahan guyonan dan candaan, sebab warisan budaya bukan untuk menjadi bahan olok-olokkan.
Memang perkembangan zaman tidak bisa ditolak, tapi toh apa salahnya kalau kita ikut melestarikan warisan budaya, dari berbagai macam jenis khususnya di bidang kuliner.
Dinangoi semakin termarjinalkan karena disebut-sebut kalah keren, dibandingkan dengan makanan siap saji lainnya. Dinangoi menjadi makanan kelas dua bukan karena sulit menemukan bahan bakunya, namun selera masyarakat yang jauh mengembara hingga ke Negeri Pizza dan Burger.
Warisan kebudayaan kita begitu kaya, tari-tarian, bahasa daerah, bait-bait pantun daerah, permainan khas daerah, juga deretan syair-syair lagu. Tak lupa, warisan dalam bentuk makanan serupa dinangoi.
Bagaimanapun, makanan khas ini merupakan bagian dari warisan kebudayaan, yang perlu diperhatikan dan dilestarikan, agar anak cucu kita nanti bisa mencicipi dan menikmati kuliner khas daerah kita. Bukan sekadar mendengar dongeng manis-pahitnya cita rasa dinangoi dari para pendahulunya, sambil sesekali membayangkan bentuk dinangoi, yang sedang di dongengkan seseorang untuknya.
Ah, dinangoi memang lebih dari sekadar romantisme kuliner di masa lalu.

Rabu, 25 Maret 2015

Globalisasi dan Kecemasan Generasi Muda Terhadap Budaya Lokal



Globalisasi merupakan sebuah ideologi baru, sekira sepuluh tahun terakhir. Sebagai istilah, globalisasi begitu mudah diterima atau dikenal masyarakat. Wacana globalisasi sebagai proses, ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga mampu mengubah dunia secara mendasar.
Globalisasi menjadi tantangan untuk semua aspek kehidupan manusia, termasuk aspek kebudayaan. Perlu kita ingat bersama, budaya merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Budaya tradisional atau budaya lokal memiliki nilai dan makna tersendiri, sebab itulah budaya lokal sangat penting untuk dijaga dan diwariskan dari generasi ke generasi. Sebab kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat, seperti teorinya Herskovits bahwa kebudayaan sebagai suatu yang turun temurun, dari satu generasi ke generasi yang lain, atau biasa disebut “SUPER ORGANIC”.
Sedangkan perubahan sosial budaya dan pola budaya dalam suatu masyarakat, berawal dari adanya gejala berubahnya struktur sosial. Hal yang bisa dijadikan contoh seperti mulai pudarnya budaya Bolaang Mongondow, pada masyarakat terutama generasi muda. Dimana banyaknya generasi muda di Bolaang Mongondow, tidak lagi mengenal bahkan lupa tentang budaya-budaya  Bolaang Mongondow. Khususnya  secara verbal (bahasa), terlebih bahasa adalah sebagai alat komunikasi  dalam interaksi sosial, dimana bahasa Mongondow telah mengalami pengikisan yang cukup memprihatinkan di kalangan generasi muda. Bahasa lokal ini hampir punah, generasi muda lebih giat berbahasa Manado ketimbang Mongondow. Padahal bahasa tersebut bukan bahasa asal daerah kita. Akibat fakta  tersebut, bukan hal yang mustahil, bila dua puluh tahun atau empat puluh tahun ke depan, satu-satunya identitas Bolaang Mongondow yang kuat berupa bahasa, akan serupa Islam di Andalusia, Spanyol, yang jaya dan megah namun kemudian hilang dan musnah dari peta peradaban dan etno dunia.
Pengikisan budaya bukan hanya terjadi secara verbal, akan tetapi terjadi pula di non verbal (tarian dan berpakaian). Zaman modern seperti sekarang, di era semakin canggihnya teknologi,  generasi muda bukannya memperkokoh budaya kemongondowan, malah lupa dan menyerap budaya modern yang ke barat-baratan.
Hampir mayoritas generasi muda tidak lagi mengenal tarian-tarian yang diwariskan nenek moyang. Bahkan disertai dengan cara berpakaian yang tidak sopan. Cadeko seliweran sana-sini, dengan sedikit menukil perkataan teman saya, “Lambung dia’ no lapat.(Pakaian yang belum selesai)”. Bukan hal yang mustahil, budaya lokal hanya sebagai budaya dan sistem nilai yang menjadi asing bagi kemongondowan. Tergerus dan hilang dari bumi Totabuan.
Kami bagian dalam gerakan pelestarian bahasa, adat, dan budaya Bolaang Mongondow, dalam tulisan ini meminta agar keberpihakkan, keterlibatan, dan keperdulian dari semua unsur masyarakat dan pemerintah daerah, yang termasuk  dalam satu rumpun budaya Kotamobagu, Bolmong, Bolmut, Boltim,dan Bolsel, karena untuk mewariskan nilai-nilai budaya kepada generasi penerus adalah tanggung jawab mereka yang hidup hari ini.
Hal tersebut hanya dapat tercapai dengan dua pola pendidikan utama, yaitu pendidikan non formal dan pendidikan formal. Pendidikan non formal adalah dengan pembiasaan dan penerapan nilai-nilai  dalam kehidupan keluarga. Sedangkan pendidikan formal, dengan menjadikan bahasa, adat, dan budaya Bolmong sebagai mata pelajaran atau kurikulum dalam setiap jenjang pendidikan yang ada.
Terlebih undang-undang pendidikan nasional  telah memberikan peluang bagi daerah, untuk menciptakan ciri khas pendidikan masing-masing. Dengan ini pemerintah bisa menerapkan muatan lokal dalam pendidikan formal, yang ada di Bolmong. Karena sudah demikian esensi urgennya dalam nilai-nilai kemongondowan. Sebab tentu bukan sesuatu yang berlebihan, jika nilai kebudayaan kita telah sampai pada kata DARURAT.

Oleh: Febri Bambuena (Advokasi KPMIBM Cabang Makassar)

Jumat, 20 Maret 2015

Menyoal dan Merefleksi Paras Pendidikan Kita

Ada dua hal yang perlu kita soroti ketika kita mempersoalkan dan mencoba merefleksi pendidikan kita. Pertama, mengenai praktik pendidikan itu sendiri (orientasi pendidikan). Kedua, mengenai kebijakan pengelolaan pendidikan dalam tinjauan institusi maupun relasi ekonomi politik (system pendidikan).
Dua hal yang berbeda namun tidak bisa dipisahkan tersebut akan dicoba untuk disoroti dalam tulisan ini. Mengingat praktik pendidikan merupakan suatu hal yang sebenarnya ideologis dan politis jika ditinjau dari perspektif kritis (Nuryatno,2008). Ideologis dan politis dalam perspektif kritis ini dilihat demikian karena pendidikan tersandera pada apakah akan diarahkan ke dalam muara yang memapankan status quo, atau untuk membebaskan manusia dari keterkekangannya.
Dua pilihan itu seakan memaksa kita untuk menjadikan pendidikan bukanlah sesuatu yang netral dalam praktiknya maupun pengelolaannya. Terutama ketika pendidikan kita pandang dalam ranah pengelolaan negara dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang seringkali disuguhkan di telinga kita.
Hal pertama yang menjadi pembahasan kita adalah praktik pendidikan. Praktik pendidikan dalam hal ini dinilai dari segi konten dan orientasi pendidikan itu sendiri. Sebut misalnya, pendidikan yang dijalankan di sekolah – sekolah maupun universitas seringkali berisi materi yang berbau keterampilan untuk membekali peserta didik supaya mampu bersaing di dunia kerja maupun pasar global. Sepintas tak ada yang salah dengan hal itu. Akan tetapi jika direfleksi secara kritis, maka kita bisa menilai bahwa praktik pendidikan tersebut berbau salah satu watak dari kapitalisme yakni kompetisi. Lantas kenapa kalau kompetisi? Bukannya hal itu baik demi menyediakan skill maupun pengetahuan kepada peserta didik untuk memperbaiki kehidupannya kelak ketika menyelesaikan studinya? Ya, memang tidak ada yang menyalahkan kita semua akan terjun di dunia kerja ataupun terjun dalam proses produksi di tengah – tengah masyarakat. Akan tetapi pola pendidikan yang demikian di atas akan melahirkan keluaran yang digiring untuk menerima kejamnya dunia, yang ada di luar dunia pendidikan tersebut tanpa dibekali ilmu dan skill, dalam menginterupsi ketimpangan dan kekejaman dunia kerja dalam lingkup kapitalisme global, yang sangat menghisap para pekerja dan menyingkirkan kelompok masyarakat yang ada di luarnya. Kelompok masyarakat yang bukan tidak mungkin adalah keluarga ataupun kerabat dekat si pencari kerja itu sendiri, sebagai keluaran institusi pendidikan hasil didikan pro persaingan pasar global.
Kenapa pendidikan kita tidak diarahkan pada orientasi selain untuk menjadi tenaga kerja, juga untuk memanusiakan peserta didik itu sendiri? Ditambah lagi kenapa peserta didik tidak dibekali untuk menginterupsi dan melawan bahkan melakukan perbaikan terhadap berbagai ketimpangan social yang sedang gencar – gencarnya di bawah rezim kapitalisme global dengan system neoliberalismenya hari ini? Kenapa pula pendidikan kita tidak membekali peserta didik untuk penangkal virus budaya populer yang menjadi senjata utama kapitalisme global melalui industry budayanya dalam menguras kantong – kantong kita untuk terus berkonsumsi meski tidak menjadi kebutuhan kita, namun hanya keinginan tanpa batas yang diciptakan iklan dan public relation korporasi? (Habermas dalam Media and Cultural Studies KeyWorks).
Pertanyaan – pertanyaan di atas menjadikan praktik ber-inquiry (mempertanyakan secara kritis) kita dalam menyoroti konten pendidikan yang dipraktikkan banyak institusi pendidikan hari ini. Sesungguhnya, dalam melihat posisi pendidikan hari kita hari ini, maka kita tidak dapat melepaskannya dari konteks ekonomi politik dan social budaya di luar dunia pendidikan itu sendiri. Keterkaitan erat pertarungan politik baik dalam ranah nasional, regional, maupun global hari ini antara penguasa modal yang ingin kaya sendiri dengan rakyat banyak yang menginginkan kesejahteraan. Keduanya seolah tidak pernah berdamai dalam memperebutkan dominasi dan hegemoni kekuasaan semenjak era pencerahan melanda yang ditindaklanjuti dengan modernisasi pendidikan maupun gelombang kolonialisme pasca pencerahan. Kolonialisme Eropa menggeliat diikuti dengan praktik pendidikannya di Eropa sana dan juga di tanah - tanah jajahan. Kelas social menjadi penentu di Eropa negeri kolonialis sana, sementara kelas dan ras di tanah jajahan. Bahkan bisa dikatakan, di masa kapitalisme global dengan spirit neoliberalismenya hari ini, hal tersebut masihlah terwarisi. Diskriminasi adalah kata kunci untuk menjelaskannya.
Kembali ke pembahasan awal, selain praktik pendidikan berupa konten dan orientasi pendidikannya, hal kedua yang perlu menjadi sorotan selanjutnya adalah mengenai pengelolaan pendidikan itu sendiri. Dengan kata lain penguasaan akan otoritas mengelola pendidikan adalah fokus penilaiannya. Sudah disinggung di atas bahwa pendidikan terutama jika kita menelisik secara institusional, kita tidak melepaskannya dengan konteks yang ada di luar dirinya, yakni negara. Negara pun sampai hari ini di tengah system kapitalisme global, yang berspririt neoliberal menjadikan negara sebagai pembuka pintu dan penjaga arus modal para kapitalis global, dalam memperkaya dirinya di berbagai negara yang tunduk akan system tersebut, tak terkecuali Indonesia. Ratifikasi konsensus WTO oleh pemerintah Indonesia sejak 1994 mensyaratkan pendidikan sebagai salah satu sector jasa bersama kesehatan, telekomunikasi, perbankan dan sector jasa lainnya harus diliberalisasi. Privatisasi adalah kata kunci popular untuk menjelaskan praktik ini. Dengan demikian, pendidikan dilihat sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan, menjadi arena perebutan investasi korporasi baik nasional maupun global. Maka tidak heran pendidikan negeri hari ini di bawah naungan UU Perguruan Tinggi no.12 tahun 2012 berlomba – lomba untuk merebut hati korporasi. Job street adalah salah satu praktiknya, dan hibah penelitian untuk kemajuan industry juga diantaranya. Selain itu kita sudah bisa melihat bagaimana setiap perusahaan berlomba – lomba membangun perguruan tingginya. Sebut misalnya Universitas Bakrie, Universitas Pelita Harapan yang kalau tidak salah merupakan hasil investasi dari Lippo Group, Universitas Bosowa 45 dan Politeknik Bosowa serta beberapa lagi diantaranya. Selain untuk menyesuaikan diri dalam system kapitalisme global yang menuntut persaingan dalam rangka menyiapkan tenaga pekerja untuk perusahaannya sendiri, juga perlu diingat bahwa institusi pendidikan juga adalah penghasil keuntungan yang menggiurkan yang menjanjikan penghasilan yang tidak sedikit. Pendeknya, pendidikan menjadi komoditas bisa dijadikan mesin penghasil uang, sekaligus untuk mendidik calon pekerja di perusahaan pemilik perguruan tinggi itu sendiri.
Sebagai bahan refleksi dari uraian di atas, maka kita bisa melihat bagaimana paras pendidikan kita hari ini di tengah geliat kapitalisme global, dengan mekanisme kerja neoliberalnya. Dari segi praktik, pendidikan bukannya membebaskan manusia dari ketertindasannya, sebagaimana Paulo Freire khotbahkan dalam Pendidikan kaum Tertindas dan Politik Pendidikan-nya. Juga Antonio Gramsci serta Jurgen Habermas yang menjadi rujukan Nuryatno (2008) dalam menyusun karyanya Mazhab Pendidikan Kritis. Pendidikan kita secara dominan justru menampakkan parasnya yang menjadikan manusia/peserta didik masuk ke dalam kubangan kelam penghisapan global. Dehumanisasi yang berlangsung terus menerus adalah hasil produksinya sebagai hasil dari system pendidikan yang bermuara pada orientasi pasar. Sementara diskriminasi sebagai hasil dari privatisasi institusi pendidikan, yang menjadikannya tidak terjangkau oleh kelompok masyarakat yang terpinggirkan. Sebagai konsekuensi sosialnya, mobilitas social kelompok terpinggirkan menjadi terhambat. Ditambah lagi, pendidikan mejadi kehilangan roh sucinya untuk mencerdaskan dan membebaskan. Itulah paras pendidikan kita hari ini yang coba untuk dipersoalkan dan direfleksi dalam tulisan ini. Semoga saja resistensi dan upaya pembebasan melalui system dan orientasi alternatif dari yang, disebutkan sebelumnya mampu diwujudkan dan menjadi praktik pembebasan kita, sebagai bagian masyarakat yang tersadarkan secara kritis, dalam rangka melawan dehumanisasi dan diskriminasi oleh system dan orientasi pendidikan mainstream yang berlangsung sampai hari ini.
Semoga....
Penulis: Muhammad Nasrullah (Eks Direktur Lingkar Advokasi Mahasiswa (LAW) UNHAS Makassar)