Bentuknya bundar nampak begitu
sederhana, gurih, dengan cita rasa khas daerah pegunungan, begitulah kesan saat pertama kali lidah
dengan lembut mengecap dinangoi. Pahit di bagian hangusnya dan manis di lelehan gula
aren atau bahan lain yang melapisi bagian tengahnya, seperti mengisyaratkan
getir dan getar kehidupan. Bahwa kita tak pernah luput dari pahit-manisnya
hidup. Nah, masih adakah yang ingat dengan makanan khas Bolaang Mongondow ini?
semoga kaum muda yang telah mencicipi aneka ragam kuliner luar negeri, yang
membanjiri tanah pertiwi ini masih akrab dan sering bercengkrama dengan sedap
dan nikmatnya dinangoi.
Betapa beruntunganya
kita yang sempat merasakan kenikmatan makanan warisan leluhur ini. Tidak tahu
pasti sejak kapan dinangoi pertama
kali dikonsumsi masyarakat Bolaang Mongondow. Tapi menurut referensi yang saya
dapatkan, dinangoi sudah ada sejak masa kerajaan Bolmong.
Pada masa itu
makanan ini menjadi salah satu makanan mewah di kalangan raja. Bahkan menurut
sejarah, raja-raja di Bolmong dahulu kala memiliki kebun sagu sendiri, hanya
untuk mempermudah mendapatkan bahan utama pembuatan dinangoi, yaitu sagu.
Kini sajian kuliner
yang purba ini menjadi seperti berkelas saking sulitnya ditemui. Mungkin dinangoi tak lagi menjadi idola umumnya
masyarakat modern, dengan berbagai alasan. Namun menurut saya, tidak ada alasan
mengapa harus meninggalkan salah satu makanan khas, yang memperkuat identitas
kedaerahan kita sendiri. Bukannya numpang ngetren dengan ikut-ikutan mencemooh
atau menjadikannya sebagai bahan guyonan dan candaan, sebab warisan budaya
bukan untuk menjadi bahan olok-olokkan.
Memang perkembangan
zaman tidak bisa ditolak, tapi toh apa salahnya kalau kita ikut melestarikan
warisan budaya, dari berbagai macam jenis khususnya di bidang kuliner.
Dinangoi semakin termarjinalkan karena disebut-sebut kalah keren, dibandingkan
dengan makanan siap saji lainnya. Dinangoi
menjadi makanan kelas dua bukan karena sulit menemukan bahan bakunya, namun
selera masyarakat yang jauh mengembara hingga ke Negeri Pizza dan Burger.
Warisan kebudayaan kita
begitu kaya, tari-tarian, bahasa daerah, bait-bait pantun daerah, permainan
khas daerah, juga deretan syair-syair lagu. Tak lupa, warisan dalam bentuk
makanan serupa dinangoi.
Bagaimanapun,
makanan khas ini merupakan bagian dari warisan kebudayaan, yang perlu
diperhatikan dan dilestarikan, agar anak cucu kita nanti bisa mencicipi dan menikmati
kuliner khas daerah kita. Bukan sekadar mendengar dongeng manis-pahitnya cita
rasa dinangoi dari para pendahulunya,
sambil sesekali membayangkan bentuk dinangoi, yang sedang di dongengkan
seseorang untuknya.
Ah, dinangoi memang lebih dari sekadar
romantisme kuliner di masa lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar