Kamis, 26 Maret 2015

Dinangoi, Lebih dari Sekadar Romantisme Kuliner Masa Lalu



Bentuknya bundar nampak begitu sederhana, gurih, dengan cita rasa khas daerah pegunungan, begitulah kesan saat pertama kali lidah dengan lembut mengecap dinangoi. Pahit di bagian hangusnya dan manis di lelehan gula aren atau bahan lain yang melapisi bagian tengahnya, seperti mengisyaratkan getir dan getar kehidupan. Bahwa kita tak pernah luput dari pahit-manisnya hidup. Nah, masih adakah yang ingat dengan makanan khas Bolaang Mongondow ini? semoga kaum muda yang telah mencicipi aneka ragam kuliner luar negeri, yang membanjiri tanah pertiwi ini masih akrab dan sering bercengkrama dengan sedap dan nikmatnya dinangoi.
Betapa beruntunganya kita yang sempat merasakan kenikmatan makanan warisan leluhur ini. Tidak tahu pasti sejak kapan dinangoi pertama kali dikonsumsi masyarakat Bolaang Mongondow. Tapi menurut referensi yang saya dapatkan, dinangoi sudah ada sejak masa kerajaan Bolmong.
Pada masa itu makanan ini menjadi salah satu makanan mewah di kalangan raja. Bahkan menurut sejarah, raja-raja di Bolmong dahulu kala memiliki kebun sagu sendiri, hanya untuk mempermudah mendapatkan bahan utama pembuatan dinangoi, yaitu sagu.
Kini sajian kuliner yang purba ini menjadi seperti berkelas saking sulitnya ditemui. Mungkin dinangoi tak lagi menjadi idola umumnya masyarakat modern, dengan berbagai alasan. Namun menurut saya, tidak ada alasan mengapa harus meninggalkan salah satu makanan khas, yang memperkuat identitas kedaerahan kita sendiri. Bukannya numpang ngetren dengan ikut-ikutan mencemooh atau menjadikannya sebagai bahan guyonan dan candaan, sebab warisan budaya bukan untuk menjadi bahan olok-olokkan.
Memang perkembangan zaman tidak bisa ditolak, tapi toh apa salahnya kalau kita ikut melestarikan warisan budaya, dari berbagai macam jenis khususnya di bidang kuliner.
Dinangoi semakin termarjinalkan karena disebut-sebut kalah keren, dibandingkan dengan makanan siap saji lainnya. Dinangoi menjadi makanan kelas dua bukan karena sulit menemukan bahan bakunya, namun selera masyarakat yang jauh mengembara hingga ke Negeri Pizza dan Burger.
Warisan kebudayaan kita begitu kaya, tari-tarian, bahasa daerah, bait-bait pantun daerah, permainan khas daerah, juga deretan syair-syair lagu. Tak lupa, warisan dalam bentuk makanan serupa dinangoi.
Bagaimanapun, makanan khas ini merupakan bagian dari warisan kebudayaan, yang perlu diperhatikan dan dilestarikan, agar anak cucu kita nanti bisa mencicipi dan menikmati kuliner khas daerah kita. Bukan sekadar mendengar dongeng manis-pahitnya cita rasa dinangoi dari para pendahulunya, sambil sesekali membayangkan bentuk dinangoi, yang sedang di dongengkan seseorang untuknya.
Ah, dinangoi memang lebih dari sekadar romantisme kuliner di masa lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar