Jumat, 20 Maret 2015

Menyoal dan Merefleksi Paras Pendidikan Kita

Ada dua hal yang perlu kita soroti ketika kita mempersoalkan dan mencoba merefleksi pendidikan kita. Pertama, mengenai praktik pendidikan itu sendiri (orientasi pendidikan). Kedua, mengenai kebijakan pengelolaan pendidikan dalam tinjauan institusi maupun relasi ekonomi politik (system pendidikan).
Dua hal yang berbeda namun tidak bisa dipisahkan tersebut akan dicoba untuk disoroti dalam tulisan ini. Mengingat praktik pendidikan merupakan suatu hal yang sebenarnya ideologis dan politis jika ditinjau dari perspektif kritis (Nuryatno,2008). Ideologis dan politis dalam perspektif kritis ini dilihat demikian karena pendidikan tersandera pada apakah akan diarahkan ke dalam muara yang memapankan status quo, atau untuk membebaskan manusia dari keterkekangannya.
Dua pilihan itu seakan memaksa kita untuk menjadikan pendidikan bukanlah sesuatu yang netral dalam praktiknya maupun pengelolaannya. Terutama ketika pendidikan kita pandang dalam ranah pengelolaan negara dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang seringkali disuguhkan di telinga kita.
Hal pertama yang menjadi pembahasan kita adalah praktik pendidikan. Praktik pendidikan dalam hal ini dinilai dari segi konten dan orientasi pendidikan itu sendiri. Sebut misalnya, pendidikan yang dijalankan di sekolah – sekolah maupun universitas seringkali berisi materi yang berbau keterampilan untuk membekali peserta didik supaya mampu bersaing di dunia kerja maupun pasar global. Sepintas tak ada yang salah dengan hal itu. Akan tetapi jika direfleksi secara kritis, maka kita bisa menilai bahwa praktik pendidikan tersebut berbau salah satu watak dari kapitalisme yakni kompetisi. Lantas kenapa kalau kompetisi? Bukannya hal itu baik demi menyediakan skill maupun pengetahuan kepada peserta didik untuk memperbaiki kehidupannya kelak ketika menyelesaikan studinya? Ya, memang tidak ada yang menyalahkan kita semua akan terjun di dunia kerja ataupun terjun dalam proses produksi di tengah – tengah masyarakat. Akan tetapi pola pendidikan yang demikian di atas akan melahirkan keluaran yang digiring untuk menerima kejamnya dunia, yang ada di luar dunia pendidikan tersebut tanpa dibekali ilmu dan skill, dalam menginterupsi ketimpangan dan kekejaman dunia kerja dalam lingkup kapitalisme global, yang sangat menghisap para pekerja dan menyingkirkan kelompok masyarakat yang ada di luarnya. Kelompok masyarakat yang bukan tidak mungkin adalah keluarga ataupun kerabat dekat si pencari kerja itu sendiri, sebagai keluaran institusi pendidikan hasil didikan pro persaingan pasar global.
Kenapa pendidikan kita tidak diarahkan pada orientasi selain untuk menjadi tenaga kerja, juga untuk memanusiakan peserta didik itu sendiri? Ditambah lagi kenapa peserta didik tidak dibekali untuk menginterupsi dan melawan bahkan melakukan perbaikan terhadap berbagai ketimpangan social yang sedang gencar – gencarnya di bawah rezim kapitalisme global dengan system neoliberalismenya hari ini? Kenapa pula pendidikan kita tidak membekali peserta didik untuk penangkal virus budaya populer yang menjadi senjata utama kapitalisme global melalui industry budayanya dalam menguras kantong – kantong kita untuk terus berkonsumsi meski tidak menjadi kebutuhan kita, namun hanya keinginan tanpa batas yang diciptakan iklan dan public relation korporasi? (Habermas dalam Media and Cultural Studies KeyWorks).
Pertanyaan – pertanyaan di atas menjadikan praktik ber-inquiry (mempertanyakan secara kritis) kita dalam menyoroti konten pendidikan yang dipraktikkan banyak institusi pendidikan hari ini. Sesungguhnya, dalam melihat posisi pendidikan hari kita hari ini, maka kita tidak dapat melepaskannya dari konteks ekonomi politik dan social budaya di luar dunia pendidikan itu sendiri. Keterkaitan erat pertarungan politik baik dalam ranah nasional, regional, maupun global hari ini antara penguasa modal yang ingin kaya sendiri dengan rakyat banyak yang menginginkan kesejahteraan. Keduanya seolah tidak pernah berdamai dalam memperebutkan dominasi dan hegemoni kekuasaan semenjak era pencerahan melanda yang ditindaklanjuti dengan modernisasi pendidikan maupun gelombang kolonialisme pasca pencerahan. Kolonialisme Eropa menggeliat diikuti dengan praktik pendidikannya di Eropa sana dan juga di tanah - tanah jajahan. Kelas social menjadi penentu di Eropa negeri kolonialis sana, sementara kelas dan ras di tanah jajahan. Bahkan bisa dikatakan, di masa kapitalisme global dengan spirit neoliberalismenya hari ini, hal tersebut masihlah terwarisi. Diskriminasi adalah kata kunci untuk menjelaskannya.
Kembali ke pembahasan awal, selain praktik pendidikan berupa konten dan orientasi pendidikannya, hal kedua yang perlu menjadi sorotan selanjutnya adalah mengenai pengelolaan pendidikan itu sendiri. Dengan kata lain penguasaan akan otoritas mengelola pendidikan adalah fokus penilaiannya. Sudah disinggung di atas bahwa pendidikan terutama jika kita menelisik secara institusional, kita tidak melepaskannya dengan konteks yang ada di luar dirinya, yakni negara. Negara pun sampai hari ini di tengah system kapitalisme global, yang berspririt neoliberal menjadikan negara sebagai pembuka pintu dan penjaga arus modal para kapitalis global, dalam memperkaya dirinya di berbagai negara yang tunduk akan system tersebut, tak terkecuali Indonesia. Ratifikasi konsensus WTO oleh pemerintah Indonesia sejak 1994 mensyaratkan pendidikan sebagai salah satu sector jasa bersama kesehatan, telekomunikasi, perbankan dan sector jasa lainnya harus diliberalisasi. Privatisasi adalah kata kunci popular untuk menjelaskan praktik ini. Dengan demikian, pendidikan dilihat sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan, menjadi arena perebutan investasi korporasi baik nasional maupun global. Maka tidak heran pendidikan negeri hari ini di bawah naungan UU Perguruan Tinggi no.12 tahun 2012 berlomba – lomba untuk merebut hati korporasi. Job street adalah salah satu praktiknya, dan hibah penelitian untuk kemajuan industry juga diantaranya. Selain itu kita sudah bisa melihat bagaimana setiap perusahaan berlomba – lomba membangun perguruan tingginya. Sebut misalnya Universitas Bakrie, Universitas Pelita Harapan yang kalau tidak salah merupakan hasil investasi dari Lippo Group, Universitas Bosowa 45 dan Politeknik Bosowa serta beberapa lagi diantaranya. Selain untuk menyesuaikan diri dalam system kapitalisme global yang menuntut persaingan dalam rangka menyiapkan tenaga pekerja untuk perusahaannya sendiri, juga perlu diingat bahwa institusi pendidikan juga adalah penghasil keuntungan yang menggiurkan yang menjanjikan penghasilan yang tidak sedikit. Pendeknya, pendidikan menjadi komoditas bisa dijadikan mesin penghasil uang, sekaligus untuk mendidik calon pekerja di perusahaan pemilik perguruan tinggi itu sendiri.
Sebagai bahan refleksi dari uraian di atas, maka kita bisa melihat bagaimana paras pendidikan kita hari ini di tengah geliat kapitalisme global, dengan mekanisme kerja neoliberalnya. Dari segi praktik, pendidikan bukannya membebaskan manusia dari ketertindasannya, sebagaimana Paulo Freire khotbahkan dalam Pendidikan kaum Tertindas dan Politik Pendidikan-nya. Juga Antonio Gramsci serta Jurgen Habermas yang menjadi rujukan Nuryatno (2008) dalam menyusun karyanya Mazhab Pendidikan Kritis. Pendidikan kita secara dominan justru menampakkan parasnya yang menjadikan manusia/peserta didik masuk ke dalam kubangan kelam penghisapan global. Dehumanisasi yang berlangsung terus menerus adalah hasil produksinya sebagai hasil dari system pendidikan yang bermuara pada orientasi pasar. Sementara diskriminasi sebagai hasil dari privatisasi institusi pendidikan, yang menjadikannya tidak terjangkau oleh kelompok masyarakat yang terpinggirkan. Sebagai konsekuensi sosialnya, mobilitas social kelompok terpinggirkan menjadi terhambat. Ditambah lagi, pendidikan mejadi kehilangan roh sucinya untuk mencerdaskan dan membebaskan. Itulah paras pendidikan kita hari ini yang coba untuk dipersoalkan dan direfleksi dalam tulisan ini. Semoga saja resistensi dan upaya pembebasan melalui system dan orientasi alternatif dari yang, disebutkan sebelumnya mampu diwujudkan dan menjadi praktik pembebasan kita, sebagai bagian masyarakat yang tersadarkan secara kritis, dalam rangka melawan dehumanisasi dan diskriminasi oleh system dan orientasi pendidikan mainstream yang berlangsung sampai hari ini.
Semoga....
Penulis: Muhammad Nasrullah (Eks Direktur Lingkar Advokasi Mahasiswa (LAW) UNHAS Makassar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar