Rabu, 25 Maret 2015

Globalisasi dan Kecemasan Generasi Muda Terhadap Budaya Lokal



Globalisasi merupakan sebuah ideologi baru, sekira sepuluh tahun terakhir. Sebagai istilah, globalisasi begitu mudah diterima atau dikenal masyarakat. Wacana globalisasi sebagai proses, ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga mampu mengubah dunia secara mendasar.
Globalisasi menjadi tantangan untuk semua aspek kehidupan manusia, termasuk aspek kebudayaan. Perlu kita ingat bersama, budaya merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Budaya tradisional atau budaya lokal memiliki nilai dan makna tersendiri, sebab itulah budaya lokal sangat penting untuk dijaga dan diwariskan dari generasi ke generasi. Sebab kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat, seperti teorinya Herskovits bahwa kebudayaan sebagai suatu yang turun temurun, dari satu generasi ke generasi yang lain, atau biasa disebut “SUPER ORGANIC”.
Sedangkan perubahan sosial budaya dan pola budaya dalam suatu masyarakat, berawal dari adanya gejala berubahnya struktur sosial. Hal yang bisa dijadikan contoh seperti mulai pudarnya budaya Bolaang Mongondow, pada masyarakat terutama generasi muda. Dimana banyaknya generasi muda di Bolaang Mongondow, tidak lagi mengenal bahkan lupa tentang budaya-budaya  Bolaang Mongondow. Khususnya  secara verbal (bahasa), terlebih bahasa adalah sebagai alat komunikasi  dalam interaksi sosial, dimana bahasa Mongondow telah mengalami pengikisan yang cukup memprihatinkan di kalangan generasi muda. Bahasa lokal ini hampir punah, generasi muda lebih giat berbahasa Manado ketimbang Mongondow. Padahal bahasa tersebut bukan bahasa asal daerah kita. Akibat fakta  tersebut, bukan hal yang mustahil, bila dua puluh tahun atau empat puluh tahun ke depan, satu-satunya identitas Bolaang Mongondow yang kuat berupa bahasa, akan serupa Islam di Andalusia, Spanyol, yang jaya dan megah namun kemudian hilang dan musnah dari peta peradaban dan etno dunia.
Pengikisan budaya bukan hanya terjadi secara verbal, akan tetapi terjadi pula di non verbal (tarian dan berpakaian). Zaman modern seperti sekarang, di era semakin canggihnya teknologi,  generasi muda bukannya memperkokoh budaya kemongondowan, malah lupa dan menyerap budaya modern yang ke barat-baratan.
Hampir mayoritas generasi muda tidak lagi mengenal tarian-tarian yang diwariskan nenek moyang. Bahkan disertai dengan cara berpakaian yang tidak sopan. Cadeko seliweran sana-sini, dengan sedikit menukil perkataan teman saya, “Lambung dia’ no lapat.(Pakaian yang belum selesai)”. Bukan hal yang mustahil, budaya lokal hanya sebagai budaya dan sistem nilai yang menjadi asing bagi kemongondowan. Tergerus dan hilang dari bumi Totabuan.
Kami bagian dalam gerakan pelestarian bahasa, adat, dan budaya Bolaang Mongondow, dalam tulisan ini meminta agar keberpihakkan, keterlibatan, dan keperdulian dari semua unsur masyarakat dan pemerintah daerah, yang termasuk  dalam satu rumpun budaya Kotamobagu, Bolmong, Bolmut, Boltim,dan Bolsel, karena untuk mewariskan nilai-nilai budaya kepada generasi penerus adalah tanggung jawab mereka yang hidup hari ini.
Hal tersebut hanya dapat tercapai dengan dua pola pendidikan utama, yaitu pendidikan non formal dan pendidikan formal. Pendidikan non formal adalah dengan pembiasaan dan penerapan nilai-nilai  dalam kehidupan keluarga. Sedangkan pendidikan formal, dengan menjadikan bahasa, adat, dan budaya Bolmong sebagai mata pelajaran atau kurikulum dalam setiap jenjang pendidikan yang ada.
Terlebih undang-undang pendidikan nasional  telah memberikan peluang bagi daerah, untuk menciptakan ciri khas pendidikan masing-masing. Dengan ini pemerintah bisa menerapkan muatan lokal dalam pendidikan formal, yang ada di Bolmong. Karena sudah demikian esensi urgennya dalam nilai-nilai kemongondowan. Sebab tentu bukan sesuatu yang berlebihan, jika nilai kebudayaan kita telah sampai pada kata DARURAT.

Oleh: Febri Bambuena (Advokasi KPMIBM Cabang Makassar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar