Globalisasi merupakan sebuah ideologi baru, sekira
sepuluh tahun terakhir. Sebagai istilah, globalisasi begitu mudah diterima atau
dikenal masyarakat. Wacana globalisasi sebagai proses, ditandai dengan pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga mampu mengubah dunia
secara mendasar.
Globalisasi menjadi tantangan untuk semua aspek kehidupan
manusia, termasuk aspek kebudayaan. Perlu kita ingat bersama, budaya merupakan
hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Budaya tradisional atau budaya lokal
memiliki nilai dan makna tersendiri, sebab itulah budaya lokal sangat penting
untuk dijaga dan diwariskan dari generasi ke generasi. Sebab kebudayaan sangat
erat hubungannya dengan masyarakat, seperti teorinya Herskovits bahwa
kebudayaan sebagai suatu yang turun temurun, dari satu generasi ke generasi
yang lain, atau biasa disebut “SUPER ORGANIC”.
Sedangkan perubahan sosial budaya dan pola budaya dalam
suatu masyarakat, berawal dari adanya gejala berubahnya struktur sosial. Hal
yang bisa dijadikan contoh seperti mulai pudarnya budaya Bolaang Mongondow, pada
masyarakat terutama generasi muda. Dimana banyaknya generasi muda di Bolaang Mongondow,
tidak lagi mengenal bahkan lupa tentang budaya-budaya Bolaang Mongondow. Khususnya secara verbal (bahasa), terlebih bahasa
adalah sebagai alat komunikasi dalam
interaksi sosial, dimana bahasa Mongondow telah mengalami pengikisan yang cukup
memprihatinkan di kalangan generasi muda. Bahasa lokal ini hampir punah,
generasi muda lebih giat berbahasa Manado ketimbang Mongondow. Padahal bahasa
tersebut bukan bahasa asal daerah kita. Akibat fakta tersebut, bukan hal yang mustahil, bila dua
puluh tahun atau empat puluh tahun ke depan, satu-satunya identitas Bolaang Mongondow
yang kuat berupa bahasa, akan serupa Islam di Andalusia, Spanyol, yang jaya dan
megah namun kemudian hilang dan musnah dari peta peradaban dan etno dunia.
Pengikisan budaya bukan hanya terjadi secara verbal, akan
tetapi terjadi pula di non verbal (tarian dan berpakaian). Zaman modern seperti
sekarang, di era semakin canggihnya teknologi,
generasi muda bukannya memperkokoh budaya kemongondowan, malah lupa dan menyerap
budaya modern yang ke barat-baratan.
Hampir mayoritas generasi muda tidak lagi mengenal tarian-tarian
yang diwariskan nenek moyang. Bahkan disertai dengan cara berpakaian yang tidak
sopan. Cadeko seliweran sana-sini,
dengan sedikit menukil perkataan teman saya, “Lambung dia’ no lapat.(Pakaian yang
belum selesai)”. Bukan hal yang mustahil, budaya lokal hanya sebagai budaya dan
sistem nilai yang menjadi asing bagi kemongondowan. Tergerus dan hilang dari
bumi Totabuan.
Kami bagian dalam gerakan pelestarian bahasa, adat, dan
budaya Bolaang Mongondow, dalam tulisan ini meminta agar keberpihakkan, keterlibatan,
dan keperdulian dari semua unsur masyarakat dan pemerintah daerah, yang
termasuk dalam satu rumpun budaya Kotamobagu,
Bolmong, Bolmut, Boltim,dan Bolsel, karena untuk mewariskan nilai-nilai budaya
kepada generasi penerus adalah tanggung jawab mereka yang hidup hari ini.
Hal tersebut hanya dapat tercapai dengan dua pola
pendidikan utama, yaitu pendidikan non formal dan pendidikan formal. Pendidikan
non formal adalah dengan pembiasaan dan penerapan nilai-nilai dalam kehidupan keluarga. Sedangkan
pendidikan formal, dengan menjadikan bahasa, adat, dan budaya Bolmong sebagai
mata pelajaran atau kurikulum dalam setiap jenjang pendidikan yang ada.
Terlebih undang-undang pendidikan nasional telah memberikan peluang bagi daerah, untuk
menciptakan ciri khas pendidikan masing-masing. Dengan ini pemerintah bisa
menerapkan muatan lokal dalam pendidikan formal, yang ada di Bolmong. Karena
sudah demikian esensi urgennya dalam nilai-nilai kemongondowan. Sebab tentu
bukan sesuatu yang berlebihan, jika nilai kebudayaan kita telah sampai pada
kata DARURAT.
Oleh: Febri Bambuena (Advokasi KPMIBM Cabang Makassar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar