Minggu, 05 April 2015

Merefleksi Pengalaman


Minggu 5 april 2015, senyuman mentari yang centil dengan rona merah yang merekah, Menambah eksotisme kota makassar ditengah musim penghujan yang sepertinya enggan untuk beranjak. makassar, kota dengan berbagai kesibukan manusia, tempat bertarungnya gagasan dan ide para penggiat Ilmu pengetahuan dan disitulah tempat saya tinggal untuk sementara, menuntut ilmu demi masa kini dan nanti yang baik  (sesekali saya berharap keberadaan saya  disini tidak menyentuh angka sepuluh atau lebih. yah kira kira begitulah harapan yang tentu dibarengi dengan ikhtiar yang sejalan.. haha).
Siang ini saya baru saja mengantar seorang sepupu yang tergesa-gesa menuju kampus tempatnya mengembangkan nalar dan pengetahuan. ditengah perjalanan saat ingin kembali ke PPH (kontrakan kami bernama PPH, akronim dari Pondok Patah Hati, sejarah penamaan rumah ini tak perlu saya paparkan dalam tulisan ini) saya melihat beberapa anak-anak yang masih berpakaian sekolah dengan botol minuman dingin ditangan mereka dan saling bercanda layaknya anak-anak pada umumnya.
Ditengah perjalan pulang bayangan anak-anak tadi terus saja tergambar dipikiranku, wajah anak-anak yang begitu polosnya yang sudah tidak sabar ingin sampai kerumah dengan harapan bertemu kedua orang tuanya dan menceritakan berbagai cerita menarik yang ada disekolah.
Sesampainya ditempat saya tinggal wajah anak-anak itu masih saja dipikiranku yang kemudian memaksa saya kembali menyentuh ingatan dimasa lalu, waktu saya masih berada dibangku SMA, dengan diiringi lagunya, bondan prakoso & fade2black (kita selamanya) zaman saya bersekolah, seorang teman sering berkata bahwa lagu "paling mo cocok pake'on kon perpisahan", saya teringat teman-teman yang sekarang sudah disibukan dengan urusan perkuliahannya masing-masing dengan tempat yang terpisah pula dari saya, teringat berbagai kekonyolan yang terjadi  dimasa sekolah dulu mulai dari pramos,mos dan banyak lagi kemudian sampai pada perpisahan kira-kira waktu itu tahun 2013, cerita masa sekolah itu membuat saya tertawa dengan sendirinya dikamar yang kalau ada orang yang melihatnya dengan waktu bersamaan saya yakin pasti dia akan heran dan ketakutan.
Beberapa waktu berlalu ingatanku jauh menyentuh lebih dalam lagi dan kemudian berhenti pada satu cerita yang membuat cerita masa SMA tadi yang awalnya membuat saya tertawa dan kemudian dengan waktu yang bersamaan membuat saya terdiam dengan hadirnya ingatan yang baru ini. Nah, kalau saya tidak salah ingat saat itu saya masih berada pada bangku sekolah dasar, saya teringat dimana anak-anak setiap harinya selalu diperdengarkan kata-kata “orang tua kalian adalah wakil tuhan ketika kalian berada dirumah dan kami adalah wakil tuhan ketika kalian berada disekolah” dengan waktu bersamaan mereka menanamkan dipikiran anak-anak  bahwa apapun kebijakan yang “kami” lakukan untuk kalian( siswa) itulah hal yang semestinya terjadi, anak-anak didikpun lantas diperlakukan sebagai “bejana kosong”  yang akan diisi. Sebagai sarana tabungan atau penanaman “modal ilmu pengetahuan”  yang akan dipetik hasilnya kelak. Jadi, guru adalah subyek aktif, sedangkan anak didik adalah obyek pasif, hak-hak  asasi mereka dinistakan karena mereka dibuat tak berdaya dan dibenarkan dalam “kebudayaan bisu”.
-Guru mengajar, murid belajar
-Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
_Guru bicara, murid mendengarkan
-Guru memilih apa yang diajarkan, murid menyesuaikan diri
-Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid-murid.
-Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya.
Pola pendidikan seperti itu akan menjadikan manusia penonton dan peniru. Bukan pencipta, sistem pendidikan seperti ini tidak seharusnya terjai justru sebaliknya harus menjadi kekuatan penyadar dan pembebas umat manusia.
Khususnya buat anak-anak yang berada dibolaang mongondow jangan biarkan sistem pendidikan semacam ini bergerak dengan leluasanya diwilayah pendidikan kita karena penindasan, apa pun nama dan alasanya, adalah tidak manusiawi, sesuatu yang menafikan harkat kemanusiaan(dehumanisme).
Saya mengutip yang dikatakan seorang filsuf, bahwa, panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang menindas atau mungkin menindasnya. Dunia dan realitas atau realitas dunia ini bukan “sesuatu yang ada dengan sendirinya” dan karena itu “harus diterima menurut apa adanya” sebagai suatu takdir atau semacam nasib yang takterelakan.

penulis : Novan Pradana Makalunsenge
Komunitas Pelataran Makassar (Koran Makassar)

2 komentar: