Kamis, 26 Maret 2015

Dinangoi, Lebih dari Sekadar Romantisme Kuliner Masa Lalu



Bentuknya bundar nampak begitu sederhana, gurih, dengan cita rasa khas daerah pegunungan, begitulah kesan saat pertama kali lidah dengan lembut mengecap dinangoi. Pahit di bagian hangusnya dan manis di lelehan gula aren atau bahan lain yang melapisi bagian tengahnya, seperti mengisyaratkan getir dan getar kehidupan. Bahwa kita tak pernah luput dari pahit-manisnya hidup. Nah, masih adakah yang ingat dengan makanan khas Bolaang Mongondow ini? semoga kaum muda yang telah mencicipi aneka ragam kuliner luar negeri, yang membanjiri tanah pertiwi ini masih akrab dan sering bercengkrama dengan sedap dan nikmatnya dinangoi.
Betapa beruntunganya kita yang sempat merasakan kenikmatan makanan warisan leluhur ini. Tidak tahu pasti sejak kapan dinangoi pertama kali dikonsumsi masyarakat Bolaang Mongondow. Tapi menurut referensi yang saya dapatkan, dinangoi sudah ada sejak masa kerajaan Bolmong.
Pada masa itu makanan ini menjadi salah satu makanan mewah di kalangan raja. Bahkan menurut sejarah, raja-raja di Bolmong dahulu kala memiliki kebun sagu sendiri, hanya untuk mempermudah mendapatkan bahan utama pembuatan dinangoi, yaitu sagu.
Kini sajian kuliner yang purba ini menjadi seperti berkelas saking sulitnya ditemui. Mungkin dinangoi tak lagi menjadi idola umumnya masyarakat modern, dengan berbagai alasan. Namun menurut saya, tidak ada alasan mengapa harus meninggalkan salah satu makanan khas, yang memperkuat identitas kedaerahan kita sendiri. Bukannya numpang ngetren dengan ikut-ikutan mencemooh atau menjadikannya sebagai bahan guyonan dan candaan, sebab warisan budaya bukan untuk menjadi bahan olok-olokkan.
Memang perkembangan zaman tidak bisa ditolak, tapi toh apa salahnya kalau kita ikut melestarikan warisan budaya, dari berbagai macam jenis khususnya di bidang kuliner.
Dinangoi semakin termarjinalkan karena disebut-sebut kalah keren, dibandingkan dengan makanan siap saji lainnya. Dinangoi menjadi makanan kelas dua bukan karena sulit menemukan bahan bakunya, namun selera masyarakat yang jauh mengembara hingga ke Negeri Pizza dan Burger.
Warisan kebudayaan kita begitu kaya, tari-tarian, bahasa daerah, bait-bait pantun daerah, permainan khas daerah, juga deretan syair-syair lagu. Tak lupa, warisan dalam bentuk makanan serupa dinangoi.
Bagaimanapun, makanan khas ini merupakan bagian dari warisan kebudayaan, yang perlu diperhatikan dan dilestarikan, agar anak cucu kita nanti bisa mencicipi dan menikmati kuliner khas daerah kita. Bukan sekadar mendengar dongeng manis-pahitnya cita rasa dinangoi dari para pendahulunya, sambil sesekali membayangkan bentuk dinangoi, yang sedang di dongengkan seseorang untuknya.
Ah, dinangoi memang lebih dari sekadar romantisme kuliner di masa lalu.

Rabu, 25 Maret 2015

Globalisasi dan Kecemasan Generasi Muda Terhadap Budaya Lokal



Globalisasi merupakan sebuah ideologi baru, sekira sepuluh tahun terakhir. Sebagai istilah, globalisasi begitu mudah diterima atau dikenal masyarakat. Wacana globalisasi sebagai proses, ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga mampu mengubah dunia secara mendasar.
Globalisasi menjadi tantangan untuk semua aspek kehidupan manusia, termasuk aspek kebudayaan. Perlu kita ingat bersama, budaya merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Budaya tradisional atau budaya lokal memiliki nilai dan makna tersendiri, sebab itulah budaya lokal sangat penting untuk dijaga dan diwariskan dari generasi ke generasi. Sebab kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat, seperti teorinya Herskovits bahwa kebudayaan sebagai suatu yang turun temurun, dari satu generasi ke generasi yang lain, atau biasa disebut “SUPER ORGANIC”.
Sedangkan perubahan sosial budaya dan pola budaya dalam suatu masyarakat, berawal dari adanya gejala berubahnya struktur sosial. Hal yang bisa dijadikan contoh seperti mulai pudarnya budaya Bolaang Mongondow, pada masyarakat terutama generasi muda. Dimana banyaknya generasi muda di Bolaang Mongondow, tidak lagi mengenal bahkan lupa tentang budaya-budaya  Bolaang Mongondow. Khususnya  secara verbal (bahasa), terlebih bahasa adalah sebagai alat komunikasi  dalam interaksi sosial, dimana bahasa Mongondow telah mengalami pengikisan yang cukup memprihatinkan di kalangan generasi muda. Bahasa lokal ini hampir punah, generasi muda lebih giat berbahasa Manado ketimbang Mongondow. Padahal bahasa tersebut bukan bahasa asal daerah kita. Akibat fakta  tersebut, bukan hal yang mustahil, bila dua puluh tahun atau empat puluh tahun ke depan, satu-satunya identitas Bolaang Mongondow yang kuat berupa bahasa, akan serupa Islam di Andalusia, Spanyol, yang jaya dan megah namun kemudian hilang dan musnah dari peta peradaban dan etno dunia.
Pengikisan budaya bukan hanya terjadi secara verbal, akan tetapi terjadi pula di non verbal (tarian dan berpakaian). Zaman modern seperti sekarang, di era semakin canggihnya teknologi,  generasi muda bukannya memperkokoh budaya kemongondowan, malah lupa dan menyerap budaya modern yang ke barat-baratan.
Hampir mayoritas generasi muda tidak lagi mengenal tarian-tarian yang diwariskan nenek moyang. Bahkan disertai dengan cara berpakaian yang tidak sopan. Cadeko seliweran sana-sini, dengan sedikit menukil perkataan teman saya, “Lambung dia’ no lapat.(Pakaian yang belum selesai)”. Bukan hal yang mustahil, budaya lokal hanya sebagai budaya dan sistem nilai yang menjadi asing bagi kemongondowan. Tergerus dan hilang dari bumi Totabuan.
Kami bagian dalam gerakan pelestarian bahasa, adat, dan budaya Bolaang Mongondow, dalam tulisan ini meminta agar keberpihakkan, keterlibatan, dan keperdulian dari semua unsur masyarakat dan pemerintah daerah, yang termasuk  dalam satu rumpun budaya Kotamobagu, Bolmong, Bolmut, Boltim,dan Bolsel, karena untuk mewariskan nilai-nilai budaya kepada generasi penerus adalah tanggung jawab mereka yang hidup hari ini.
Hal tersebut hanya dapat tercapai dengan dua pola pendidikan utama, yaitu pendidikan non formal dan pendidikan formal. Pendidikan non formal adalah dengan pembiasaan dan penerapan nilai-nilai  dalam kehidupan keluarga. Sedangkan pendidikan formal, dengan menjadikan bahasa, adat, dan budaya Bolmong sebagai mata pelajaran atau kurikulum dalam setiap jenjang pendidikan yang ada.
Terlebih undang-undang pendidikan nasional  telah memberikan peluang bagi daerah, untuk menciptakan ciri khas pendidikan masing-masing. Dengan ini pemerintah bisa menerapkan muatan lokal dalam pendidikan formal, yang ada di Bolmong. Karena sudah demikian esensi urgennya dalam nilai-nilai kemongondowan. Sebab tentu bukan sesuatu yang berlebihan, jika nilai kebudayaan kita telah sampai pada kata DARURAT.

Oleh: Febri Bambuena (Advokasi KPMIBM Cabang Makassar)

Jumat, 20 Maret 2015

Menyoal dan Merefleksi Paras Pendidikan Kita

Ada dua hal yang perlu kita soroti ketika kita mempersoalkan dan mencoba merefleksi pendidikan kita. Pertama, mengenai praktik pendidikan itu sendiri (orientasi pendidikan). Kedua, mengenai kebijakan pengelolaan pendidikan dalam tinjauan institusi maupun relasi ekonomi politik (system pendidikan).
Dua hal yang berbeda namun tidak bisa dipisahkan tersebut akan dicoba untuk disoroti dalam tulisan ini. Mengingat praktik pendidikan merupakan suatu hal yang sebenarnya ideologis dan politis jika ditinjau dari perspektif kritis (Nuryatno,2008). Ideologis dan politis dalam perspektif kritis ini dilihat demikian karena pendidikan tersandera pada apakah akan diarahkan ke dalam muara yang memapankan status quo, atau untuk membebaskan manusia dari keterkekangannya.
Dua pilihan itu seakan memaksa kita untuk menjadikan pendidikan bukanlah sesuatu yang netral dalam praktiknya maupun pengelolaannya. Terutama ketika pendidikan kita pandang dalam ranah pengelolaan negara dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang seringkali disuguhkan di telinga kita.
Hal pertama yang menjadi pembahasan kita adalah praktik pendidikan. Praktik pendidikan dalam hal ini dinilai dari segi konten dan orientasi pendidikan itu sendiri. Sebut misalnya, pendidikan yang dijalankan di sekolah – sekolah maupun universitas seringkali berisi materi yang berbau keterampilan untuk membekali peserta didik supaya mampu bersaing di dunia kerja maupun pasar global. Sepintas tak ada yang salah dengan hal itu. Akan tetapi jika direfleksi secara kritis, maka kita bisa menilai bahwa praktik pendidikan tersebut berbau salah satu watak dari kapitalisme yakni kompetisi. Lantas kenapa kalau kompetisi? Bukannya hal itu baik demi menyediakan skill maupun pengetahuan kepada peserta didik untuk memperbaiki kehidupannya kelak ketika menyelesaikan studinya? Ya, memang tidak ada yang menyalahkan kita semua akan terjun di dunia kerja ataupun terjun dalam proses produksi di tengah – tengah masyarakat. Akan tetapi pola pendidikan yang demikian di atas akan melahirkan keluaran yang digiring untuk menerima kejamnya dunia, yang ada di luar dunia pendidikan tersebut tanpa dibekali ilmu dan skill, dalam menginterupsi ketimpangan dan kekejaman dunia kerja dalam lingkup kapitalisme global, yang sangat menghisap para pekerja dan menyingkirkan kelompok masyarakat yang ada di luarnya. Kelompok masyarakat yang bukan tidak mungkin adalah keluarga ataupun kerabat dekat si pencari kerja itu sendiri, sebagai keluaran institusi pendidikan hasil didikan pro persaingan pasar global.
Kenapa pendidikan kita tidak diarahkan pada orientasi selain untuk menjadi tenaga kerja, juga untuk memanusiakan peserta didik itu sendiri? Ditambah lagi kenapa peserta didik tidak dibekali untuk menginterupsi dan melawan bahkan melakukan perbaikan terhadap berbagai ketimpangan social yang sedang gencar – gencarnya di bawah rezim kapitalisme global dengan system neoliberalismenya hari ini? Kenapa pula pendidikan kita tidak membekali peserta didik untuk penangkal virus budaya populer yang menjadi senjata utama kapitalisme global melalui industry budayanya dalam menguras kantong – kantong kita untuk terus berkonsumsi meski tidak menjadi kebutuhan kita, namun hanya keinginan tanpa batas yang diciptakan iklan dan public relation korporasi? (Habermas dalam Media and Cultural Studies KeyWorks).
Pertanyaan – pertanyaan di atas menjadikan praktik ber-inquiry (mempertanyakan secara kritis) kita dalam menyoroti konten pendidikan yang dipraktikkan banyak institusi pendidikan hari ini. Sesungguhnya, dalam melihat posisi pendidikan hari kita hari ini, maka kita tidak dapat melepaskannya dari konteks ekonomi politik dan social budaya di luar dunia pendidikan itu sendiri. Keterkaitan erat pertarungan politik baik dalam ranah nasional, regional, maupun global hari ini antara penguasa modal yang ingin kaya sendiri dengan rakyat banyak yang menginginkan kesejahteraan. Keduanya seolah tidak pernah berdamai dalam memperebutkan dominasi dan hegemoni kekuasaan semenjak era pencerahan melanda yang ditindaklanjuti dengan modernisasi pendidikan maupun gelombang kolonialisme pasca pencerahan. Kolonialisme Eropa menggeliat diikuti dengan praktik pendidikannya di Eropa sana dan juga di tanah - tanah jajahan. Kelas social menjadi penentu di Eropa negeri kolonialis sana, sementara kelas dan ras di tanah jajahan. Bahkan bisa dikatakan, di masa kapitalisme global dengan spirit neoliberalismenya hari ini, hal tersebut masihlah terwarisi. Diskriminasi adalah kata kunci untuk menjelaskannya.
Kembali ke pembahasan awal, selain praktik pendidikan berupa konten dan orientasi pendidikannya, hal kedua yang perlu menjadi sorotan selanjutnya adalah mengenai pengelolaan pendidikan itu sendiri. Dengan kata lain penguasaan akan otoritas mengelola pendidikan adalah fokus penilaiannya. Sudah disinggung di atas bahwa pendidikan terutama jika kita menelisik secara institusional, kita tidak melepaskannya dengan konteks yang ada di luar dirinya, yakni negara. Negara pun sampai hari ini di tengah system kapitalisme global, yang berspririt neoliberal menjadikan negara sebagai pembuka pintu dan penjaga arus modal para kapitalis global, dalam memperkaya dirinya di berbagai negara yang tunduk akan system tersebut, tak terkecuali Indonesia. Ratifikasi konsensus WTO oleh pemerintah Indonesia sejak 1994 mensyaratkan pendidikan sebagai salah satu sector jasa bersama kesehatan, telekomunikasi, perbankan dan sector jasa lainnya harus diliberalisasi. Privatisasi adalah kata kunci popular untuk menjelaskan praktik ini. Dengan demikian, pendidikan dilihat sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan, menjadi arena perebutan investasi korporasi baik nasional maupun global. Maka tidak heran pendidikan negeri hari ini di bawah naungan UU Perguruan Tinggi no.12 tahun 2012 berlomba – lomba untuk merebut hati korporasi. Job street adalah salah satu praktiknya, dan hibah penelitian untuk kemajuan industry juga diantaranya. Selain itu kita sudah bisa melihat bagaimana setiap perusahaan berlomba – lomba membangun perguruan tingginya. Sebut misalnya Universitas Bakrie, Universitas Pelita Harapan yang kalau tidak salah merupakan hasil investasi dari Lippo Group, Universitas Bosowa 45 dan Politeknik Bosowa serta beberapa lagi diantaranya. Selain untuk menyesuaikan diri dalam system kapitalisme global yang menuntut persaingan dalam rangka menyiapkan tenaga pekerja untuk perusahaannya sendiri, juga perlu diingat bahwa institusi pendidikan juga adalah penghasil keuntungan yang menggiurkan yang menjanjikan penghasilan yang tidak sedikit. Pendeknya, pendidikan menjadi komoditas bisa dijadikan mesin penghasil uang, sekaligus untuk mendidik calon pekerja di perusahaan pemilik perguruan tinggi itu sendiri.
Sebagai bahan refleksi dari uraian di atas, maka kita bisa melihat bagaimana paras pendidikan kita hari ini di tengah geliat kapitalisme global, dengan mekanisme kerja neoliberalnya. Dari segi praktik, pendidikan bukannya membebaskan manusia dari ketertindasannya, sebagaimana Paulo Freire khotbahkan dalam Pendidikan kaum Tertindas dan Politik Pendidikan-nya. Juga Antonio Gramsci serta Jurgen Habermas yang menjadi rujukan Nuryatno (2008) dalam menyusun karyanya Mazhab Pendidikan Kritis. Pendidikan kita secara dominan justru menampakkan parasnya yang menjadikan manusia/peserta didik masuk ke dalam kubangan kelam penghisapan global. Dehumanisasi yang berlangsung terus menerus adalah hasil produksinya sebagai hasil dari system pendidikan yang bermuara pada orientasi pasar. Sementara diskriminasi sebagai hasil dari privatisasi institusi pendidikan, yang menjadikannya tidak terjangkau oleh kelompok masyarakat yang terpinggirkan. Sebagai konsekuensi sosialnya, mobilitas social kelompok terpinggirkan menjadi terhambat. Ditambah lagi, pendidikan mejadi kehilangan roh sucinya untuk mencerdaskan dan membebaskan. Itulah paras pendidikan kita hari ini yang coba untuk dipersoalkan dan direfleksi dalam tulisan ini. Semoga saja resistensi dan upaya pembebasan melalui system dan orientasi alternatif dari yang, disebutkan sebelumnya mampu diwujudkan dan menjadi praktik pembebasan kita, sebagai bagian masyarakat yang tersadarkan secara kritis, dalam rangka melawan dehumanisasi dan diskriminasi oleh system dan orientasi pendidikan mainstream yang berlangsung sampai hari ini.
Semoga....
Penulis: Muhammad Nasrullah (Eks Direktur Lingkar Advokasi Mahasiswa (LAW) UNHAS Makassar)

Minggu, 08 Maret 2015

Berbagi Keresahan

Makassar Selasa 22 Juli 2014

Saung Layung Arus Balik. Lahir dari rahim semesta. Sebuah manifestasi dari kesadaran kolektif akan pentingnya pendidikan yang memerdekakan. Pendidikan yang membebaskan.
Saung Layung Arus Balik ialah bentuk tangkisan tatkala hegemoni budaya populer, membombardir sendi-sendi masyarakat kota dan pedesaan, lewat asupan tontonan-tontonan yang hampir tidak memiliki nilai edukasi dan tak bergizi.
Saung Layung Arus Balik adalah semangat, luapan gairah untuk menyelamatkan generasi muda dari gerus jaman yang kian beringas. Layaknya Jugernault, jaman modern melahap setiap manusia yang berpayung kebodohan. Mencernanya dan memuntahkannya kembali bersama jutaan orang gagal dan putus asa di atas muka bumi. Hidup di lantai terbawah-terdalam-dari sebuah kota, tak pernah nampak mereka ada. Bahkan tak terpikirkan.
Di lindap subuh yang sepi. Sebagian anak terbangun tepat pukul 05.00. Mereka bersujud untuk menunaikan tugas sebagai mahluk Tuhan. Saat itu belum ada yang nampak beda pada anak-anak ini. Tunggu hingga mereka mulai duduk di samping meja makan untuk sarapan; mengisi penuh perutnya dengan nasi, daging, serta susu. Sementara yang lain sedang memakan singkong, pisang, dan segelas air putih untuk disesap.
Ada anak yang berseragam merah putih lengkap dengan topi dan dasi. Sementara anak yang lainnya bangun dengan pakaian rombeng, lusuh, dan berhari-hari melekat di raga mereka.
Anak yang satunya berangkat ke sekolah dengan menggunakan kendaraan. Sedangkan anak ini melangkah gontai dan terpaksa menuju tempat pembuangan sampah dengan karung terkulai di atas pundak.
Anak yang sedang menikmati pelajaran sekolah sebagai hak anak bangsa, sedang yang satunya lagi mengais sampah sebagai tulang punggung keluarga.
Anak yang beruntung itu mampu memanjakan akal mereka dengan sains. Namun bagaimana dengan posisi anak yang menenteng karung dan kurang beruntung itu? Anak yang sarapannya singkong rebus dan berbalut pakaian bekas dan lusuh? Si anak yang bukunya adalah tumpukkan sampah plastik dan pensilnya adalah pengait?
Si anak yang butuh pelukan dan kewajiban kita untuk mengajarkan apa yang telah Tuhan lebihkan kepada kita. Anak-anak ini wajib kita selamatkan.
Pendidikan adalah gerbangnya, partisipasi teman-teman adalah kuncinya. Berikan mereka kesempatan untuk hidup layak di kemudian hari dengan bekal ilmu pengetahuan yang kita bagi. Pendidikan untuk mengagungkan kemanusiaan. Dan anak-anak ini ialah mahluk yang bernama, MANUSIA.

Oleh: Sandry Anugerah
(Salah satu inisiator Rumah Belajar: Saung Layung Arus Balik)

Saung Layung Arus Balik

Kamis 22 Mei 2014

Aku pernah bermimpi, tinggal di sebuah desa terpencil dan menjadi seorang pengajar di tingkat sekolah dasar. Terlebih setelah beberapa kali membaca novel dan menonton film mengenai abdi seorang guru yang rela meringkuk di antara belantara hutan dan jauh dari ramai riuh perkotaan.
Begitu nikmatnya ketika kita membuka mata di kala pagi, dan disambut dengan kemuning cahaya mentari di punggung pegunungan dan hijau hamparan persawahan. Menghidu aroma sejuk yang menebal di udara, dan telinga yang dihibur kicau burung-burung mencicit di desir angin pagi. Maka nikmat Tuhan manalagi yang kamu dustakan di keadaan seperti itu?
Yah, sampai di suatu hari, seorang sahabat yang mempunyai cita-cita yang kurang lebih sama mengabariku lewat SMS. "Sigidad, kami berencana mendirikan rumah belajar di sana, lokasinya di desa Moyag, dan satunya lagi di desa Bakan. Nanti kita ketemuan untuk membicarakannya."
Mimpi itu terwujud sudah. Setelah perjumpaan yang singkat di rumahnya, rencana kami itu akan coba dirampungkan setelah segala urusan perkuliahannya selesai. Beberapa orang teman kuliahnya yang berasal dari Makassar melakukan riset di lingkar tambang di desa Bakan, dan akhirnya tugas mereka pun selesai dan waktunya untuk mereka kembali ke Makassar.
Setelah sebelumnya diajak keliling-keliling kota Manado hingga menyempatkan diri menyelam di keindahan taman laut dan terumbu karang pulau Bunaken, akhirnya bandara Samratulangi menunggu mereka untuk membawa mereka kembali pulang. Misi selesai sudah.
Selanjutnya, di rumah kerabatnya yang menjadi tempat kami menginap sementara, tepatnya di tepi kolam ikan di halaman belakang rumah, ide segar itupun tiba-tiba benderang di atas kepala kami. Satu kata telah ditemukan, Saung. Dan setelah itu kata kedua, Layung. Dan sisanya kami mencuri judul bukunya Pramoedya Ananta Toer, Arus Balik.
Jadilah sebuah nama untuk rumah belajar kami "Saung Layung Arus Balik". Dan tanpa disengaja, "Saung" itu mengidentikkan dengan tempat rumah belajar itu sendiri, yakni desa Bakan yang memang sebuah wilayah yang dikelilingi area persawahan dan terdapat beberapa saung di setiap hamparan persawahan. Dan kata "Layung" yang jika di desa Moyag, di kala sore hari, maka warna kuning kemerah-merahan di ufuk barat Kotamobagu akan terlihat begitu indah dari sana.
Apa sebenarnya yang menggerakkan hati kami untuk mencoba mendirikan rumah belajar yang orientasinya memang bukan hanya untuk anak-anak putus sekolah, pun dengan metode belajar yang berbeda dari sekolah formal?
Kami hanya ingin agar dada anak-anak ini tak berdebar takut kala malam hari, tersebab pekerjaan rumah mereka yang belum selesai, atau dengan mata pelajaran yang membuat mereka pusing keesokan harinya. Tapi kami ingin supaya dada mereka bergemuruh tak sabar menanti esok hari, karena pelajaran-pelajaran itu mereka sukai dan dinanti-nantikan. Keajaiban masa kanak-kanak tak boleh direbut oleh pekerjaan rumah yang menumpuk dan mata pelajaran yang memusingkan.
Nak, ambil penamu dan menulislah sesuka hatimu. Corat-coretlah lembaran putih itu, gambarlah apa saja yang terlintas di imajinasi kalian, lalu namai sesuka hati kalian. Dan tanyailah kami apa saja, sebab kami akan coba menjawab dengan bahasa yang kalian tahu.

***

Kemarin kami menyempatkan diri mengunjungi desa Bakan dan bertemu dengan kepala desa di kediamannya. Respon yang mulia itu tertutur haru dengan diijinkannya kami menempati salah satu ruangan di bangunan sekolah dasar. Karena waktu mengajar kami sore hari, maka tak menggangu aktivitas belajar mereka.

Terima kasih pak kepala desa...

Sedangkan untuk lokasi di desa Moyag. Kebetulan akses di sana pun cukup merangkul kami.
Ah, tak sabar menunggu saat mulai mengajar itu tiba. Apapun yang menyoal kemanusiaan, terlebih itu mengenai pendidikan, seperti kata Pram, "Pendidikan untuk mengagungkan kemanusiaan."
Setelah ini, mungkin aku berniat ingin membukukan pengalaman-pengalaman mengajar kami nantinya. Dan untuk teman-teman yang tergerak hatinya ingin turut berpartisipasi dengan kami. Ringankan langkah kalian demi mencerdaskan generasi Nusantara.
Saung Layung Arus Balik. Tuhan tahu apa yang ada di benak kami. Dengan niat yang tulus, maka setelah itu yang ada hanyalah kata, "Mari berbuat!"

Penulis: Kristianto Galuwo (Sigidad), salah satu inisiator Rumah Belajar Saung Layung Arus Balik