Jumat, 10 April 2015

Cultural Education = Tameng Kebudayaan Atas Pengaruh Kebudayaan Luar

Tidak dapat dipungkiri jika daerah kita mempunyai identitas kuat dalam segi kebudayaan. Ada begitu banyak seni kebudayaan, yang kita tidak sadari semakin tergerus oleh hal-hal modern dan budaya luar yang semakin diterima masyarakat khususnya kaum muda di daerah kita, tanpa diimbangi dengan kegiatan-kegiatan yang mampu memperkuat pondasi pertahanan kebudayaan kita, atas ancaman degradasi minat dari para generasi penerus.
Budaya menurut bahasa merupakan cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.  Di sini peran para sesepuh sangat diharapkan. Sesepuh yang disebutkan di sini, bukan hanya yang mempunyai peran penting dalam hal kegiatan-kegiatan, yang berbau adat dalam hal ini guhanga, tapi sesepuh yang dimaksud adalah orang-orang yang telah mendapatkan pendidikan tentang dasar-dasar budaya,secara sejarah, maupun kegiatan-kegiatan yang melibatkan konsep adat istiadat dalam kebudayaan kita. Perlunya sosialisasi kepada anak-anak kita juga kepada orang-orang yang semakin meninggalkan etnik kebudayaan kita karena lebih berkiblat ke kebudayaan pop (pop cultural).
Dari sini mungkin perlunya pendidikan kebudayaan di sekolah-sekolah atau instansi, yang mengadakan kegiatan belajar. Kenapa semakin hari semakin berkurang pelajaran, yang mengajarkan tentang kebudayaan yang menjadi identitas daerah kita. Saya rasa mungkin perlunya pendidikan berbasis budaya (Cultural Education) di sekolah negeri maupun swasta di daerah khususnya di Bolaang Mongondow ini. Pendidikan yang mengajarkan siswa bagaimana adat dan semua sisi kebudayaan yang ada di daerah ini, dari tari-tarian,nyanyian dan masih banyak lagi bahkan sampai dengan mainan tradisonal yang memang hanya ada di daerah kita tercinta Bolaang Mongondow.
Lalu bagaimana pendidikan seperti  itu bisa terwujud? Semua tergantung dari atas. Atas mana yang dimaksud? Pemerintah. Peran pemerintah dalam menyelamatkan warisan kebudayaan Bolaang Mongondow sangat sentral. Kiranya ada program pemerintah yang khusus menangani. Ini bukan sekadar isapan jempol belaka, karena bagaimana orang tua, leluhur kita, mencoba mempertahankan kebudayaan tersebut, agar kita mempunyai identitas kedaerahan sendiri bukan sekadar ngikut budaya orang lain atau budaya pop, yang sedang menjadi ancaman cultural community di Indonesia, khususnya di Bolaang Mongondow.
Perlunya pelestarian untuk waktu yang lama, perlunya sinergi antara pemerintah dengan masyarakat yang peduli dengan kebudayaan, dalam hal upaya pelestarian kebudayaan dalam waktu yang berkelanjutan (sustainable).
Solusi paling mudah mungkin dengan banyak dilibatkannya kegiatan-kegiatan berbau kebudayaan, dalam kegiatan yang diselenggarakan pemerintah dan mengajukannya sebagai syarat, untuk izin kegiatan-kegiatan yang diadakan pihak swasta di daerah. Dan itu bukan hal yang sulit diwujudkan, karena koordinasi antar instansi terkait tidak akan ada masalah dengan persoalan ini, apalagi jika ini peraturan yang dikeluarkan dan disepakati oleh seluruh jajaran dalam pemerintahan.
Kebudayaan merupakan tanggung jawab kita bersama, bagaimana dengan orang yang tidak peduli dengan kebudayaan daerahnya? Mungkin dia layak disebut pecundang dan tidak bertanggung jawab. Karena mencoba lari dari kenyataan dan takut tak akan mampu mempertahankan yang sudah menjadi miliknya. Bukan hanya takut tapi malah lebih seperti penjilat, karena malah ikut-ikutan dengan kebudayaan lain yang sedang ngetren. Semoga Anda tidak termasuk orang seperti itu!

Pendidikan sama dengan (=) Pengetahuan

Pentingnya pendidikan kini sudah menjadi syarat untuk fungsi harmonis dalam bermasyarakat. Secara langsung pendidikan memacu kita untuk berpikir, sebabdalam berpikir akan ditemui hal-hal baru yang menambah pengetahuan. Tapi selalu ada pertanyaan, apa pentingnya pendidikan sebenarnya? Jawabannya ada dalam diri kita sendiri. Pendidikan sebenarnya lebih daripada komoditi yang selama ini kita lebih-lebihkan nilainya. Pendidikan tidak selalu formal di mana seseorang yang ingin menuntut ilmu, harus barseragam lengkap,karena seragam bukan syarat utama dalam pendidikan. Itu hanya kebijakan partikulir pihak yang melaksanakan kegiatan pendidikan tersebut, agar terlihat seragam dalam berpakaian. Jelas ini mempertontonkan identitas pihak yang melaksanakan pendidikan itu. Alasan klasiknya seragam menambah nilai estetika dalam diri siswa yang tengah menempuh pendidikan. Menurut saya pendidikan saja yang di tingkatkan, karena jika seseorang yang menempuh pendidikan tersebut telah paham dengan pendidikan yang sebenarnya, secara tidak langsung akan mengerti nilai-nilai estetika dalam kehidupan sehari-hari. Orang berseragam tak selalu berpendidikan.
Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas panjang lebar persoalan seragam, karena pendidkan bukan  fashion, dan saya bukan kritikus tata busana sekelas Giorgio Armani atau Bang Igun di acara Tv swasta  itu.  Pendidikan yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh akan membawa kita dalam pusaran keberhasilan. Terlalu banyak manfaat pendidikan sehingga saya sendiri tak bisa menjabarkannya satu persatu. Intinya pendidikan akan mebawa kita ke dalam wilayah di mana orang lain akan memandang kita “minimal”  sedikit lebih di atas. Pendidikan secara harfiah membuat kita lebih berawawasan. Bahkan tidak ada waktu yang lebih baik selain memahami konsep ini. Tak dapat dipungkiri globalisasi telah mengubah dunia, dari yang kecil menjadi besar,yang besar menjadi kecil, yang panjang menjadi pendek begitupun sebaliknya. Tidak ada batasan dalam memperoleh pengetahuan. Untuk sekadar mengetahui budaya luar atau peristiwa yang terjadi di belahan dunia lain ada andil pendidikan dalam wilayah itu.
Pendidikan juga membentuk dasar dari setiap kebutuhan masyarakat. Dari berbagai hal, entah itu ekonomi, sosiologi, filsafat, politik dan banyak hal lainnya. Dengan pendidikan dasar yang kuat akan memudahkan masyarakat, melakukan berbagai bentuk kegiatan perencanaan,penelitian dan pengembangan yang akan mengundang keuntungan dan kesejahteraan, baik secara individu maupun secara bersama-sama dengan individu lain.
Pendidikan perlu ditanamkan sejak dini dalam diri anak-anak, entah itu dari keluarga kalangan atas menengah kebawah. Karena saya memandang pendidikan memadai untuk kalangan atas akan memantapkan posisinya di atas,sementara untuk kalangan menengah kebawah akan membawanya bersaing dengan kalangan di atasnya. Pendidikan  sejak dini perlu  agar anak-anak tidak hanya mengonsumsi ilmu pasti dan doktrin-doktrin secara tekstual,melainkan memacu mereka untuk berfikir dan bertanya.
Dalam pendidikan tidak ada batasan. Tidak hanya sebatas sekolah dan ruang kelas saja.  Banyak wadah dalam maningkatkan mutu pendidikan selain sekolah formal. Sekarang telah banyak kaum muda yang mencurahkan perhatian dan keprihatinan dalam dunia pendidikan khususnya kepada kaum-kaum kurang beruntung. Saya mungkin hanya salah satu dari sekian banyak pihak yang mengapresiasi kegiatan-kegiatan ini. Terima kasih kepada kawan sekalian telah meluangkan waktu dan tempat untuk membagikan ilmu yang sudah didapatkan kepada kaum-kaum kurang beruntung,sehingga mereka siap untuk menerjang tantangan dunia dalam hal pengetahuan dalam konsep pendidikan.

Oleh: Retho Bambuena

Nyatakah Kisahmu Bono?

Bono, si bocah mungil, cerewet, dengan tampang yang imut-imut. Entah apa yang terlintas di pikiran orang tuanya, ketika menamai malaikat kecil mereka , yang meneriaki dunia yang indah nan kejam ini.
Terlintas dalam pikiranku, mungkin terinspirasi  dari vokalis band U2. Bono, bocah kecil, berwarna kulit kecokelatan dengan kepala yang selalu tampil plontos, layaknya legenda sepakbola kelas dunia asal Brazil, Ronaldo. Dari bocah kecil ini aku belajar melihat, bagaimana seorang anak berusia 8 tahun bertarung melawan kerasnya dunia. Membantu orang tua memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, untuk makan dan kebutuhan lainnya, bersama kedua adiknya. Seperti halnya bocah kecil lainnya yang tak mempunyai kesempatan untuk mengenyam pendidikan, Bono juga mempunyai mimpi besar dan melangit, mungkin dia mengharap seperti kalimat Bung Karno, "Bermimpilah setinggi langit, jika kau jatuh, kau akan jatuh di antara bintang-bintang." Entahlah.
Setiap hari Bono kecil menjajakan koran di persimpangan jalan, di bawah teduhnya tangkisan struktur kokoh arsitektur  flyover, terhadap terik sinar mentari. Bono kecil selalu bermimpi untuk bisa sekolah, sekadar merasakan bagaimana rasanya di tanyai guru soal penjumlahan dan pengurangan. Pun merasakan terik mentari, saat ikut upacara bendera di sekolah, atau sekadar memegang rapor kecil bertulikan nama, kelas, dan wali kelasnya.
Tapi apa daya, lemahnya ekonomi keluarga, memaksa Bono ikut ambil bagian dalam mempertahankan kelangsungan hidup keluarga. Dan menunda mimpinya untuk bersekolah. Pertanyaan yang muncul setelah paragraf yang menceritakan kisah singkat Bono di atas, adakah usaha serius pemerintah menangani kasus seperti ini? bukan hanya untuk Bono yang satu ini, tapi untuk Bono-Bono lainnya. Atau inisiatif kaum intelektual muda yang akan mengatasi masalah seperti yang di alami Bono ini? jawabannya jika pilihan kedua yang melakukannya, maka itu sebuah  tamparan keras untuk pemerintah agar lebih peka terhadap masalah seperti ini.
Lupakan tentang pertanyaan tadi, semoga ada yang terefeki dengannya. Kita lanjutkan saja cerita tentang Bono kecil tadi yang mendapatkan secercah harapan, yang secara tidak sadar terjadi sangat singkat di saat kita serius membaca dan menanggapi pertanyaan di paragraf ketiga. Harapan apa yang didapat Bono? Bono mendapatkan impiannya. Bersekolahkah Bono? Iya. Tapi bukan sekolah formal seperti umumnya, melainkan sekolah yang digagas kaum muda, untuk membantu orang-orang kurang beruntung, dalam persoalan kemampuan ekonomi untuk bersekolah. Di sana bukan hanya Bono yang diceritakan sejak awal tulisan ini, tapi ada Bono-Bono lainnya. Mereka bahagia? Sangat bahagia. Karena mereka mendapatkan pendidikan yang, bahkan lebih dari yang didapatkan anak-anak seusianya di sekolah formal. Beruntungnya Bono kecil ini bertemu dengan sosok serupa peri di cerita Peterpan, atau sosok serupa Jin Botol dalam cerita dongeng Alladin, yang mampu mewujudkan mimpinya, untuk sekolah. Entahlah, hanya aku dan Bono yang tahu sosok-sosok itu.

Oleh: Retho Bambuena

Minggu, 05 April 2015

Merefleksi Pengalaman


Minggu 5 april 2015, senyuman mentari yang centil dengan rona merah yang merekah, Menambah eksotisme kota makassar ditengah musim penghujan yang sepertinya enggan untuk beranjak. makassar, kota dengan berbagai kesibukan manusia, tempat bertarungnya gagasan dan ide para penggiat Ilmu pengetahuan dan disitulah tempat saya tinggal untuk sementara, menuntut ilmu demi masa kini dan nanti yang baik  (sesekali saya berharap keberadaan saya  disini tidak menyentuh angka sepuluh atau lebih. yah kira kira begitulah harapan yang tentu dibarengi dengan ikhtiar yang sejalan.. haha).
Siang ini saya baru saja mengantar seorang sepupu yang tergesa-gesa menuju kampus tempatnya mengembangkan nalar dan pengetahuan. ditengah perjalanan saat ingin kembali ke PPH (kontrakan kami bernama PPH, akronim dari Pondok Patah Hati, sejarah penamaan rumah ini tak perlu saya paparkan dalam tulisan ini) saya melihat beberapa anak-anak yang masih berpakaian sekolah dengan botol minuman dingin ditangan mereka dan saling bercanda layaknya anak-anak pada umumnya.
Ditengah perjalan pulang bayangan anak-anak tadi terus saja tergambar dipikiranku, wajah anak-anak yang begitu polosnya yang sudah tidak sabar ingin sampai kerumah dengan harapan bertemu kedua orang tuanya dan menceritakan berbagai cerita menarik yang ada disekolah.
Sesampainya ditempat saya tinggal wajah anak-anak itu masih saja dipikiranku yang kemudian memaksa saya kembali menyentuh ingatan dimasa lalu, waktu saya masih berada dibangku SMA, dengan diiringi lagunya, bondan prakoso & fade2black (kita selamanya) zaman saya bersekolah, seorang teman sering berkata bahwa lagu "paling mo cocok pake'on kon perpisahan", saya teringat teman-teman yang sekarang sudah disibukan dengan urusan perkuliahannya masing-masing dengan tempat yang terpisah pula dari saya, teringat berbagai kekonyolan yang terjadi  dimasa sekolah dulu mulai dari pramos,mos dan banyak lagi kemudian sampai pada perpisahan kira-kira waktu itu tahun 2013, cerita masa sekolah itu membuat saya tertawa dengan sendirinya dikamar yang kalau ada orang yang melihatnya dengan waktu bersamaan saya yakin pasti dia akan heran dan ketakutan.
Beberapa waktu berlalu ingatanku jauh menyentuh lebih dalam lagi dan kemudian berhenti pada satu cerita yang membuat cerita masa SMA tadi yang awalnya membuat saya tertawa dan kemudian dengan waktu yang bersamaan membuat saya terdiam dengan hadirnya ingatan yang baru ini. Nah, kalau saya tidak salah ingat saat itu saya masih berada pada bangku sekolah dasar, saya teringat dimana anak-anak setiap harinya selalu diperdengarkan kata-kata “orang tua kalian adalah wakil tuhan ketika kalian berada dirumah dan kami adalah wakil tuhan ketika kalian berada disekolah” dengan waktu bersamaan mereka menanamkan dipikiran anak-anak  bahwa apapun kebijakan yang “kami” lakukan untuk kalian( siswa) itulah hal yang semestinya terjadi, anak-anak didikpun lantas diperlakukan sebagai “bejana kosong”  yang akan diisi. Sebagai sarana tabungan atau penanaman “modal ilmu pengetahuan”  yang akan dipetik hasilnya kelak. Jadi, guru adalah subyek aktif, sedangkan anak didik adalah obyek pasif, hak-hak  asasi mereka dinistakan karena mereka dibuat tak berdaya dan dibenarkan dalam “kebudayaan bisu”.
-Guru mengajar, murid belajar
-Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
_Guru bicara, murid mendengarkan
-Guru memilih apa yang diajarkan, murid menyesuaikan diri
-Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid-murid.
-Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya.
Pola pendidikan seperti itu akan menjadikan manusia penonton dan peniru. Bukan pencipta, sistem pendidikan seperti ini tidak seharusnya terjai justru sebaliknya harus menjadi kekuatan penyadar dan pembebas umat manusia.
Khususnya buat anak-anak yang berada dibolaang mongondow jangan biarkan sistem pendidikan semacam ini bergerak dengan leluasanya diwilayah pendidikan kita karena penindasan, apa pun nama dan alasanya, adalah tidak manusiawi, sesuatu yang menafikan harkat kemanusiaan(dehumanisme).
Saya mengutip yang dikatakan seorang filsuf, bahwa, panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang menindas atau mungkin menindasnya. Dunia dan realitas atau realitas dunia ini bukan “sesuatu yang ada dengan sendirinya” dan karena itu “harus diterima menurut apa adanya” sebagai suatu takdir atau semacam nasib yang takterelakan.

penulis : Novan Pradana Makalunsenge
Komunitas Pelataran Makassar (Koran Makassar)